Tuesday, June 28, 2022

Menembus Batas - Budi Setiyadi dan Tim Ziyad Visi Media



  • Judul Buku: Menembus Batas
  • Disusun oleh: Budi Setiadi dan Tim Ziyad Visi Media
  • Penyunting:Budiman Mustofa, Lc., Erlina Z. Zachi, S.S.
  • 180 halaman
  • Cetakan pertama Januari 2010

Buku ini berisi tentang pengalaman hidup seorang Ayah yang sukses mengantarkan ke-6 anaknya mengenyam pendidikan formal. Beliau, bapak Budi Setiadi, bekerja sebagai Penarik Iuran HPPK (Himpunan Pedagang Pasar Klewer) Surakarta, dengan penghasilan Rp. 450.000,-/bulan. Bersama dengan istri beliau, Ibu Suwarsi (Nurina Mar'atush Sholihah), dengan keterbatasan ekonomi dan lingkungan yang kurang mendukung pendidikan anak, beliau mampu mengubah tantangan tersebut menjadi sebuah motivasi.

Pada awal bab, buku ini menceritakan kehidupan beliau sebelum menjadi seorang muslim, menghadapi lingkungan yang dianggap kurang sehat untuk perkembangan anak, kemudian disusul dengan kisah perjalanan menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi, dan cara mendidik anak.

Putra dan Putri beliau:

1. Sholihah (Sarjana Teknik UGM, dan calon Mahasiswa S2 Jerman)

2. Walidah (Fakultas Teknik ITB)

3. Hafidzur Rohman al-Makhi (Pembaca cepat dan Mahasiswa Teknik Geodesi UGM)

4. Marlina Mar'atush Sholihah (Siswa MA Al Islam Surakarta)

5. Abdullah Yahya (Siswa Smart Ekselensia Indonesia, Bogor)

6. Aulia Khoirun Nisa' (Siswa SD Al-Islam 2 Surakarta)

Dari beberapa buku motivasi yang pernah saya baca, buku ini masih menjadi salah satu buku favorit saya. Pertama kali saya membaca buku ini yaitu saat masih duduk si bangku sekolah, dan sampai saat ini saya masih suka untuk membacanya, terutama ketika memang saya butuh motivasi hehe..

Kelebihan dari buku ini, diantaranya:

1. Menyajikan kisah secara runtut sehingga pembaca akan mudah memahami alur cerita.  

2. Selain membahas kisah nyata dari Pak Budi Setiadi, setiap pembahasan disertai dengan teori dan data empirik. Misalnya tentang optimalisasi kecerdasan anak secara teoritis dan yang dipraktikkan oleh Pak Budi Setiadi.

3. Format tulisan yang dipilih dan ukuran font tidak terlalu kecil, selain itu diselingi dengan gambar, sehingga nyaman ketika dibaca.

4. Tidak banyak menggunakan hiperbola, dan itu salah satu yang membuat saya suka, hehe..

Beliau sering menyebutkan "karena saya bodoh, makanya saya harus banyak belajar" 

Menurut saya, ketika beliau berbicara demikian itu menggambarkan kerendahan hari beliau. Melalui sikapnya tersebut, kemudian ditularkan kepada anak-anak beliau, tentunya dengan cara mendidikan anak yang benar. Dari ke-6 anaknya, beliau selalu belajar mensiasati cara belajar anaknya, sehingga ketika ditemukan masalah dalam belajar anak, beliau selalu menyelesaikan saat itu juga.

"Bibit yang istimewa bila tidak diberi pupuk dan dirawat dengan baik, maka akan menghasilkan buah yang biasa-biasa saja atau bahkan bisa lebih buruk. Sedangkan bibit biasa bila diperlakukan dengan baik maka akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa", begitu kata Pak Budi Setiadi.

Beberapa cara mendidik anak yang diajarkan pak Budi, diantaranya:

1. Memahami bahwa bekal kecerdasan setiap anak berbeda.

2. Mendidik anak sejak dalam kandungan (disini beliau menjelaskan bahwa ketika istri beliau hamil, beliau selalu mengajak janin di kandungan istri untuk ikut bangun dan shalat malam)

3. Mengoptimalkan kecerdasan anak (disini beliau memulai dengan kecerdasan berbahasa, yakni mengajak anak untuk bercerita)

4. Temukan metode belajar yang tepat bagi anak

5. Memahami tingkat pemahaman dan konsentrasi anak

6. Jauhkan anak dari pengaruh buruk dengan cara yang baik

7. Cukupilah kebutuhan otak anak (salah satunya dengan asupan nutrisi, ditengah himpitan ekonimi, beliau memilih ikan asin karena dinilai ikan asin kaya akan kalsium)

8. Temani anak-anak untuk belajar

9. Berikan motivasi tiada henti

10. Bimbing anak dengan penuh kasih sayang

11. Jangan batasi cita-cita anak

12. Tingkatkan komunikasi dengan pihak sekolah (pernah beliau meminta kepada guru untuk sengaja memberikan nilai dibawah hasil yang sesungguhnya hanya untuk sang anak tidak cepat merasa puas dan bangga dengan capaiannya)

Kekurangan yang saya temukan saat membaca buku ini, yakni gambar yang hitam putih. Selain itu, saya belum menemukan kekurangan dari buku ini. Mungkin karena saya sudah terlanjur suka dengan isi dari buku ini.

Resensator: Ika Nur W

Buku Pintar Kesehatan Anak - Aulia Fadli

 


Terkait buku ini, ada poin-poin yang secara garis besar dapat kita ambil:

1. Kesehatan anak sangat dipengaruhi peran orang tua, bahkan jauh sebelum masa di mana anak dilahirkan.

2. Beberapa anak terlahir dengan kekurangan dan diperlukan beberapa usaha penyembuhan (down syndrome, autis, dan sebagainya)

3. Bermain merupakan dunia anak bukan hanya "sebatas kebutuhan", melalui bermain juga dapat dijadikan media terapi bagi anak atas permasalahan pada poin 2.

Resensator: Fatkhur Rozi

Range - David Epstein


Judul buku: Range
Penulis: David Epstein
Penerbit: GPU
Tahun terbit: 2020
Genre: Self-improvement 
Jumlah halaman: 390 halaman 


Pertama kali aku tau buku ini waktu lagi berburu buku di Periplus. Tapi, aku beli buku ini waktu lagi di Gramedia. Ini adalah review untuk buku Range terjemahan bahasa Indonesia. 

Aku tertarik dengan buku ini karena temanya: generalis vs. spesialis. Apalagi sekarang ini lagi rame dibahas mana sih yang bisa menjamin kesuksesan lebih cepat; menjadi generalis atau spesialis. Mungkin waktu masih kecil, kita termasuk generasi yang didoktrin jadi spesialis bakal bikin lebih mudah sukses. Aku pribadi sebelum baca buku ini udah berasumsi bahwa jelas dengan menjadi generalis, kita bakal lebih punya banyak keuntungan daripada menjadi spesialis karena jelas dunia ini udah berubah banyak, apalagi dengan adanya otomasi. Pekerjaan yang tadinya biasa dilakukan spesialis suatu saat nanti bisa digantikan oleh mesin. Eh, sekarang pun udah mulai ya era otomasi. 

Range dimulai dengan perbandingan antara kisah Tiger Woods vs. Roger Federer. Keduanya adalah atlet terkenal dan sukses, lalu apa yang membedakan keduanya? Woods tumbuh besar bersama golf dan dia menjadi pemain golf profesional di usia yang relatif muda. Sedangkan Federer mencoba berbagai macam olahraga dari sepak bola hingga tenis sebelum memutuskan untuk menjadi pemain tenis profesional. Bagiku, sebelum membaca kelanjutan buku ini, kisah motivasi ini cukup memberikan gambaran isi buku ini. 

Selain generalis vs. spesialis, Epstein cukup menjelaskan tentang polymath, yang menurutku bisa menjadi “solusi” antara dikotomi tadi. Polymath adalah menjadi generalis dengan paling ga satu bidang spesialis. Menarik. Dalam bayanganku, anak-anak diajarkan segala macam ilmu lalu ketika sudah sampai di usia tertentu, mereka diperkenankan mengambal satu spesialisasi agar menjadi spesialis tapi dengan rasa generalis. Hmm. 

Untuk kelebihan, buku ini sangat gamblang menjelaskan keuntungan-keuntungan menjadi generalis dibandingkan spesialis. Banyak sekali contoh-contoh yang dipaparkan oleh Epstein. Dia secara ga langsung mengajak pembaca untuk switch the mindset bahwa dunia ini lebih membutuhkan banyak generalis daripada spesialis. Hampir semua argumen yang disampaikan Epstein bisa aku terima dengan baik. Contohnya, menjadi generalis memudahkan kita untuk mampu melihat permasalahan dari berbagai perspektif sebelum memutuskan metode apa yang paling efektif untuk menyelesaikannya. Pemahaman kita akan masalah akan lebih deep and thorough jika kita menggunakan pendekatan generalis. 

Sayangnya, yang menjadi kelebihan malah menjadi kekurangan dari buku ini dan membuatku cukup terganggu. Dari berbagai banyak contoh, argumen, dan penjelasan Epstein, dia tidak memasukkan peran dari neuroplasticity seakan orang yang generalis akan selamanya generalis, dan sebaliknya. And to be honest, membaca buku ini membuatku bosan dengan gaya penulisan Epstein. Buku ini ditulis dengan gaya “did you know that …” “here the facts that …” “here’s how to succeed …” terlalu banyak bias generalis di sini meskipun secara garis besar aku sepakat bahwa menjadi generalis lebih menguntungkan di dunia yang disruptif ini. 

Kesimpulannya, apakah buku ini layak dibaca? Layak untuk kamu yang pengen tau apa sih keuntungan jadi generalis. Tapi, menurutku jawaban dari pertanyaan tersebut bisa kamu dapatkan ga cuma dari buku ini.


 Resensator: Aulia A.

You Can Wind Down from Time to Time - Dan Kim


Buku ini tebelnya kurang lebih 260 halaman. Keliatannya agak tebel, tapi banyak ilustrasinya. Tulisannya juga besar-besar. Setelah baca, saya menobatkan buku ini jadi comfort book saya. Secara garis besar bukunya dibagi jadi tiga bagian:

1. When I Want to Closer to Me

2. When I Miss Talking to Someone

3. When I Want to Start Over

Asalnya buku ini pake Bahasa Korea, tapi diterjemahkan ke Bahasa Inggris dengan baik, jadi mudah dimengerti pembaca. Nah, yang paling saya suka dari buku ini adalah gimana penulisnya, Kim Dan, bisa kasih comfort words buat pembaca dengan kisah-kisah dari masa kecil, seperti kisah The Little Prince, The Ugly Duckling, The Wonderful Wizard of Oz, Pippi Longstocking, dan sebagainya. 

Yang jadi favorit saya adalah tulisan yang judulnya Unusually Special. Di situ penulis mengingatkan pembaca buat mencintai diri sendiri apa adanya dengan kisah Pippi Longstocking. Penulis ngingetin pembaca bahwa jadi orang "nyeleneh" kayak Pippi itu nggak apa apa. 

Oh iya, gaya Kim Dan nulis itu kayak temen pas nyeritain pengalamannya, atau kayak temen yg cerita tentang dongeng yang baru dia baca, jd ngga berasa digurui. Seneng banget dapet buku ringan tp meaningful kayak gini 😊 Apalagi buat saya yang masih ngerasa gini-gini aja dan masih ngerasa ketinggalan dari temen-temen yang lain, baca buku ini kayak dapet pesen dr temen "Nggak apa-apa, kamu jalan pelan-pelan. Yang penting nanti nyampe. Semua itu ada masanya." 🤗

Ini tulisannya ga sebesar dan seimut buku-buku journaling, cuma agak besar aja jd ngga pegel pas baca. Penulisnya juga nulis kayak gini di sampul dan halaman depan buku: A book for everyone who's lost in the complicated path of adulting; A comforting message from your childhood.

Resensator: Annisa Nahla A.

A Gentle Reminder - Bianca Sparacino

Source: Pinterest

 Judul: A Gentle Reminder

Penulis: Bianca Sparacino

Penerbit: ThoughtCatalog

Tahun Terbit: 2021

Jumlah Halaman: 152 halaman

Genre: Self Help

Review:
Dari segi bahasa, buku ini disajikan dengan muatan Bahasa Inggris sederhana dan mudah dicerna. Bacaan ini cocok untuk pembaca yang ingin belajar reading Bahasa Inggris untuk pemula. Beberapa diksi dalam buku ini cocok bagi pembaca yang sedang mencari inspirasi untuk wedding wishes. Banyak kata-kata yang indah dan kreatif.

Dari segi isi buku, buku ini cocok untuk jadi “teman” saat sedang down atau mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan dalam hidup, seperti patah hati, momen sedih menangis sendiri di kamar, diam suka sama seseorang, kehilangan seseorang, bingung tentang karir dan masa depan, mengalami kegagalan, ada harapan yang belum tercapai, dan sejenisnya. Membaca buku ini seperti ada teman di samping kita dan bilang “it’s okey” dan dia menepuk-nepuk pundak kita. 

Bacaan ini tergolong ringan, tapi bagi yang nggak suka genre ini mungkin cenderung terasa sedikit membosankan karena tidak ada alur cerita, basically buku ini hanya berisi kata-kata penyemangat saja. Buku ini kurang cocok bagi penyuka bacaan berat karena sesuai judulnya: A Gentle Reminder, yang nuansanya ringan, seperti dipeluk Ibu atau seakan-akan seperti kontemplasi, yoga for healing, atau seakan-akan sedang mendengarkan podcast / youtube tentang kontemplasi.

Buku ini mengajarkan kita untuk:

1. Moving forward peacefully alias move on dengan damai, tidak perlu dendam pada mantan atau mengutuk keadaan.

2. Percaya diri bahwa kita ini berharga, sekecil apapun peran yang kita lakukan. Buku ini juga mengajarkan kita untuk mencintai diri sendiri dan terus memperbaiki diri, tapi tidak ngoyo.

3. Masing-masing dari kita memiliki kesuksesan sesuai versi masing-masing, tidak harus sama dengan kriteria sukses yang digembar-gemborkan society.

Salah satu kekurangan buku ini adalah di dalam buku ini dikatakan jika ingin belajar mengasah sensitivitas dan kepekaan, dianjurkan untuk ngobrol dengan seseorang tentang masa-masa yang paling pahit baginya dan cara untuk bangkit dari situasi itu. Bagian ini seharusnya kontekstual, apalagi kalo di Indonesia, menanyakan hal tersebut dalam situasi yang salah akan menimbulkan kesan kepo / malah tidak nyaman. Bacaan ini juga terlalu loncat-loncat, tidak dibuat tematik, sehingga agak bingung memilah jika sedang mencari gentle reminder untuk situasi tertentu. Di dalam bacaan ini juga terkandung banyak pengulangan nuansa / suasana.

Peluang dari dari buku ini: kata-kata dalam buku ini bisa menjadi inspirasi bagi konten kreator yang ingin memproduksi jenis video untuk healing, misalnya “1 hour healing contemplation”, atau “music for healing”, digabungkan dengan musik piano, musik klasik atau musik sejenis zen jepang dengan suara aliran air dan dipadukan dengan latar belakang video air mengalir di kolam-kolam bambu dan dedaunan hijau.

Kata-kata favorit di buku ini: (1) This is your reminder — sometimes your biggest losses end up introducing you to your biggest gains. (2) At the end of the day, you must remember this — energy cannot be created or destroyed, it can only be transformed. The universe does not take without giving, and it is within the messiness, and the aches of life, where you will finally be introduced to the beauty, where you will finally be introduced to the light.

Resensator: Fikriyatul F.