Judul buku: Range
Penulis: David Epstein
Penerbit: GPU
Tahun terbit: 2020
Genre: Self-improvement
Jumlah halaman: 390 halaman
Pertama kali aku tau buku ini waktu lagi berburu buku di Periplus. Tapi, aku beli buku ini waktu lagi di Gramedia. Ini adalah review untuk buku Range terjemahan bahasa Indonesia.
Aku tertarik dengan buku ini karena temanya: generalis vs. spesialis. Apalagi sekarang ini lagi rame dibahas mana sih yang bisa menjamin kesuksesan lebih cepat; menjadi generalis atau spesialis. Mungkin waktu masih kecil, kita termasuk generasi yang didoktrin jadi spesialis bakal bikin lebih mudah sukses. Aku pribadi sebelum baca buku ini udah berasumsi bahwa jelas dengan menjadi generalis, kita bakal lebih punya banyak keuntungan daripada menjadi spesialis karena jelas dunia ini udah berubah banyak, apalagi dengan adanya otomasi. Pekerjaan yang tadinya biasa dilakukan spesialis suatu saat nanti bisa digantikan oleh mesin. Eh, sekarang pun udah mulai ya era otomasi.
Range dimulai dengan perbandingan antara kisah Tiger Woods vs. Roger Federer. Keduanya adalah atlet terkenal dan sukses, lalu apa yang membedakan keduanya? Woods tumbuh besar bersama golf dan dia menjadi pemain golf profesional di usia yang relatif muda. Sedangkan Federer mencoba berbagai macam olahraga dari sepak bola hingga tenis sebelum memutuskan untuk menjadi pemain tenis profesional. Bagiku, sebelum membaca kelanjutan buku ini, kisah motivasi ini cukup memberikan gambaran isi buku ini.
Selain generalis vs. spesialis, Epstein cukup menjelaskan tentang polymath, yang menurutku bisa menjadi “solusi” antara dikotomi tadi. Polymath adalah menjadi generalis dengan paling ga satu bidang spesialis. Menarik. Dalam bayanganku, anak-anak diajarkan segala macam ilmu lalu ketika sudah sampai di usia tertentu, mereka diperkenankan mengambal satu spesialisasi agar menjadi spesialis tapi dengan rasa generalis. Hmm.
Untuk kelebihan, buku ini sangat gamblang menjelaskan keuntungan-keuntungan menjadi generalis dibandingkan spesialis. Banyak sekali contoh-contoh yang dipaparkan oleh Epstein. Dia secara ga langsung mengajak pembaca untuk switch the mindset bahwa dunia ini lebih membutuhkan banyak generalis daripada spesialis. Hampir semua argumen yang disampaikan Epstein bisa aku terima dengan baik. Contohnya, menjadi generalis memudahkan kita untuk mampu melihat permasalahan dari berbagai perspektif sebelum memutuskan metode apa yang paling efektif untuk menyelesaikannya. Pemahaman kita akan masalah akan lebih deep and thorough jika kita menggunakan pendekatan generalis.
Sayangnya, yang menjadi kelebihan malah menjadi kekurangan dari buku ini dan membuatku cukup terganggu. Dari berbagai banyak contoh, argumen, dan penjelasan Epstein, dia tidak memasukkan peran dari neuroplasticity seakan orang yang generalis akan selamanya generalis, dan sebaliknya. And to be honest, membaca buku ini membuatku bosan dengan gaya penulisan Epstein. Buku ini ditulis dengan gaya “did you know that …” “here the facts that …” “here’s how to succeed …” terlalu banyak bias generalis di sini meskipun secara garis besar aku sepakat bahwa menjadi generalis lebih menguntungkan di dunia yang disruptif ini.
Kesimpulannya, apakah buku ini layak dibaca? Layak untuk kamu yang pengen tau apa sih keuntungan jadi generalis. Tapi, menurutku jawaban dari pertanyaan tersebut bisa kamu dapatkan ga cuma dari buku ini.
Resensator: Aulia A.
No comments:
Post a Comment