Judul: Sagu Papua untuk Dunia
Penulis: Ahmad Arif
Tertarik baca buku ini karena kebetulan saya tinggal di Ternate (Maluku Utara). Konsumsi sagu di sini cukup tinggi, biasanya dalam bentuk sagu lempeng yang sudah dibakar dan tepung sagu. Banyak juga rumah makan dengan sajian utama papeda+seafood.
Buku pertama dari "Seri Pangan Nusantara" terbitan KPG. Bukunya gak terlalu tebal, sekitar 200an halaman dengan 7 bab (termasuk prolog dan epilog) di dalamnya. Saya baca di iPusnas.
Buku ini kaya data dan memuat banyak foto, jadi sembari membaca bisa langsung membayangkan bentuk hutan sagu, pengolahan sagu, juga orang-orang Papua yang hidupnya dekat dengan sagu.
Informasinya padat dan betul-betul menambah wawasan, terutama terkait kebijakan pangan pemerintah yang justru membawa kita makin dekat ke krisis pangan.
Sagu tumbuh secara alami di wilayah tropis Asia Tenggara, terutama di ekosistem rawa dan gambut. Dulu sekali, masyarakat nusantara mengkonsumsi sagu sebagai sumber karbohidrat utama. Makin ke sini tren pangan kita makin beralih ke beras dan gandum yang sebenarnya bukanlah tumbuhan asli nusantara. Kebijakan pemerintah Indonesia yang saat ini condong sekali ke beras, berdampak pada ancaman krisis pangan di tahun-tahun mendatang. Sagu bisa jadi alternatif yang sangat baik sebagai sumber pangan masa depan karena potensinya masih sangat besar, sesuai untuk dibudidayakan di Indonesia, dan tentunya bergizi tinggi. Budidaya sagu juga dinilai lebih ramah lingkungan karena tidak perlu mengubah lansekap asli suatu wilayah, berbeda dengan padi yang perlu lahan khusus untuk dijadikan sawah.
Tapi bahkan orang Papua kini sudah banyak yang beralih ke beras sejak adanya program raskin beberapa tahun belakangan. Gandum juga makin tinggi konsumsinya, utamanya dalam bentuk mi instan. Jadilah masyarakat Papua kini tergantung dengan beras yang di pasok dari luar wilayah tersebut. Masyarakat miskin banyak tidak mampu membeli beras akhirnya kelaparan, angka gizi burukpun meningkat. Padahal sagu tersedia di alam, tapi sayangnya mereka sudah ketagihan nasi. Miris sekali, masyarakat yang selama ratusan tahun sudah mengalami kedaulatan pangan, sekarang lapar di lumbungnya sendiri.
Kalau kupikir-kupikir, promosi sagu sebagai sumber karbohidrat pokok mungkin bisa meniru booming-nya produk-produk olahan umbi porang (shirataki) yang dilabeli "karbo rendah kalori". Pelabelan semacam ini ternyata menarik banyak orang untuk beralih dari nasi ke porang karena dinilai lebih sehat. Sagu yang punya indeks glikemik rendah juga bisa dijadikan pangan pengganti. Ini cocoknya jadi tugas influencer penganut super healthy lifestyle aja buat mengajak khalayak untuk konsumsi sagu dan ragam jenis pangan nusantara yang lain. Lagipula makan lebih beragam terbukti lebih menyehatkan badan.
Selepas baca buku ini, rasa lapar langsung muncul hahaa. Saya terbayang-bayang nikmatnya makan papeda pakai ikan kuah kuning, kemudian ditambah makanan penutup ongol-ongol dengan kelapa melimpah ruah di atasnya, ah mantaaaap...
Resensator: Reyna