Tuesday, July 5, 2022

Sagu Papua untuk Dunia - Ahmad Arif

 


Judul: Sagu Papua untuk Dunia

Penulis: Ahmad Arif

Tertarik baca buku ini karena kebetulan saya tinggal di Ternate (Maluku Utara). Konsumsi sagu di sini cukup tinggi, biasanya dalam bentuk sagu lempeng yang sudah dibakar dan tepung sagu. Banyak juga rumah makan dengan sajian utama papeda+seafood.

Buku pertama dari "Seri Pangan Nusantara" terbitan KPG. Bukunya gak terlalu tebal, sekitar 200an halaman dengan 7 bab (termasuk prolog dan epilog) di dalamnya. Saya baca di iPusnas.

Buku ini kaya data dan memuat banyak foto, jadi sembari membaca bisa langsung membayangkan bentuk hutan sagu, pengolahan sagu, juga orang-orang Papua yang hidupnya dekat dengan sagu.

Informasinya padat dan betul-betul menambah wawasan, terutama terkait kebijakan pangan pemerintah yang justru membawa kita makin dekat ke krisis pangan. 

Sagu tumbuh secara alami di wilayah tropis Asia Tenggara, terutama di ekosistem rawa dan gambut. Dulu sekali, masyarakat nusantara mengkonsumsi sagu sebagai sumber karbohidrat utama. Makin ke sini tren pangan kita makin beralih ke beras dan gandum yang sebenarnya bukanlah tumbuhan asli nusantara. Kebijakan pemerintah Indonesia yang saat ini condong sekali ke beras, berdampak pada ancaman krisis pangan di tahun-tahun mendatang. Sagu bisa jadi alternatif yang sangat baik sebagai sumber pangan masa depan karena potensinya masih sangat besar, sesuai untuk dibudidayakan di Indonesia, dan tentunya bergizi tinggi. Budidaya sagu juga dinilai lebih ramah lingkungan karena tidak perlu mengubah lansekap asli suatu wilayah, berbeda dengan padi yang perlu lahan khusus untuk dijadikan sawah.

Tapi bahkan orang Papua kini sudah banyak yang beralih ke beras sejak adanya program raskin beberapa tahun belakangan. Gandum juga makin tinggi konsumsinya, utamanya dalam bentuk mi instan. Jadilah masyarakat Papua kini tergantung dengan beras yang di pasok dari luar wilayah tersebut. Masyarakat miskin banyak tidak mampu membeli beras akhirnya kelaparan, angka gizi burukpun meningkat. Padahal sagu tersedia di alam, tapi sayangnya mereka sudah ketagihan nasi. Miris sekali, masyarakat yang selama ratusan tahun sudah mengalami kedaulatan pangan, sekarang lapar di lumbungnya sendiri.

Kalau kupikir-kupikir, promosi sagu sebagai sumber karbohidrat pokok mungkin bisa meniru booming-nya produk-produk olahan umbi porang (shirataki) yang dilabeli "karbo rendah kalori". Pelabelan semacam ini ternyata menarik banyak orang untuk beralih dari nasi ke porang karena dinilai lebih sehat. Sagu yang punya indeks glikemik rendah juga bisa dijadikan pangan pengganti. Ini cocoknya jadi tugas influencer penganut super healthy lifestyle aja buat mengajak khalayak untuk konsumsi sagu dan ragam jenis pangan nusantara yang lain. Lagipula makan lebih beragam terbukti lebih menyehatkan badan.

Selepas baca buku ini, rasa lapar langsung muncul hahaa. Saya terbayang-bayang nikmatnya makan papeda pakai ikan kuah kuning, kemudian ditambah makanan penutup ongol-ongol dengan kelapa melimpah ruah di atasnya, ah mantaaaap...

Resensator: Reyna

Man's Search for Meaning - Viktor E. Frankl

 

Judul: Man’s Search for Meaning

Penulis: Viktor E. Frankl

Penerbit: Noura Books

Cetakan: ke-8

Tahun Terbit: 2020

Jumlah halaman: 232

Ini salah satu buku popular yang banyak dirujuk oleh pekerja kesehatan mental macam psikiater dan psikolog. Aku awalnya penasaran dengan buku ini karena di salah satu IG Live-nya, dr. Jiemi Adrian pernah sebut soal ini. Katanya ini salah satu buku terbaik yang bicara soal pencarian makna atau tujuan hidup. Baik, aku cari bukunya dan akhirnya ketemu juga. 

Aslinya buku ini ditulis dalam bahasa Jerman tapi aku membaca edisi terjemahan bahasa Indonesianya. Buku ini pertama kali terbit tahun 1946 di Vienna, Austria. Oh ya, betul sekali, tepat setahun setelah Perang Dunia II usai. Emang buku ini berbicara tentang perjuangan hidup Frankl waktu mendekam di kamp konsentrasi zaman Nazi. 

Frankl menjadi satu dari sekian banyak orang Yahudi yang dipenjara di kamp konsentrasi Nazi. Lewat tulisan ini, dia menjelaskan secara detail bagaimana kehidupan di kamp konsentrasi. Ketika aku membaca ini, aku seolah dibawa ke tengah-tengah mereka, ikut melihat betapa sengsaranya hidup mereka. Dan aku jadi ga tahan ga membandingkan, ternyata hidupnya yang struggling ini ga ada apa-apanya dengan apa yang mereka alami. Ketika kita di titik terendah, masih punya keinginan untuk hidup aja tuh udah privilege banget. Padahal cuma keinginan ya, soalnya kita seolah dirampas hak paling dasar manusia kita: hak untuk hidup. Kita diperlakukan ga selayaknya manusia. Ugh, sungguh mengerikan kehidupan di kamp konsentrasi. Dan itu ga terjadi sebentar, itu sekitar 5-6 tahun sampai Jerman menyerah ke sekutu. Itu waktu yang lama. Aku bisa memaklumi ada banyak orang yang give up dengan hidupnya karena betapa besar penderitaan yang ditanggung. Dengan buku ini aku belajar empati, ga jarang aku berhenti baca buku ini soalnya ga kuat. Aku kan orangnya visual, jadi gampang buatku untuk membayangkan. Gila, aku ga bakal sanggup di posisi mereka. 

Frankl ini termasuk salah satu yang beruntung karena dia psikiater. Dia basisnya emang dokter jadi dia lebih berguna daripada profesi lain di kamp tersebut. Itu enaknya, gimana ga enaknya? Banyak banget, salah satunya dia sering menangani teman-teman satu kamp yang sakit. Masalahnya kan mereka sangat mal-nourished, sakit sepele aja bisa mengancam nyawa mereka. Jadi, Frankl menyaksikan banyak sekali orang-orang putus asa yang udah ga punya daya juang. Mereka percaya dan mengantungkan hidupnya pada takdir. Sama sekali ga ada daya juang. So definitely, nasihat-nasihat kekinian macam “makanya bersyukur” atau “banyakin ibadah” ga akan banyak membantu mereka. Yah, itu semua bisa dimaklumi. Mau ngapain lagi? Keluarga mereka belum tentu masih ada ketika mereka keluar dari kamp. Semua harta benda udah ga ada. Nama, gelar, status ga ada harganya di mata Nazi. Mereka hidup buat apa? Mending udahi aja ini semua dan mati karena ga ada penderitaan lagi ketika kita udah mati. Agak depressive membaca buku ini karena penggambaran detail apa yang terjadi dan apa yang dialami Frankl dan teman-temannya di kamp konsentrasi ditulis dalam satu bab dengan jumlah halaman 138 halaman. Tentu Panjang dan cukup melelahkan tapi gaya kepenulisan Frankl membuat kita tuh penasaran, jadi apa sih yang membuat dia bisa bertahan dari segala siksaan duniawi ini? Padahal dia mendengar istri dan ayahnya dikirim ke kamp konsentrasi lain, bahkan katanya kemungkinan besarnya istrinya sudah meninggal. Terus dia hidup buat apa?

Jika hidup benar-benar memiliki makna, maka harus ada makna di dalam penderitaan. Karena penderitaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Meskipun penderitaan itu merupakan nasib dan bentuk kematian. Tanpa penderitaan dan kematian, hidup manusia tidak sempurna.”

Frankl menemukan kesimpulan ini ketika dia mendekam di kamp konsentrasi. Betul, hidup ga bisa dinamakan hidup kalau ga ada penderitaan. Sama kayak mati, hidup itu udah satu paket dengan penderitaan. My take for this book, yah kalo kita gagal memaknai hidup kita, lalu kita terlalu banyak mengasihani diri sendiri karena penderitaan hidup, waktu yang diberikan Tuhan akan sia-sia dong? 

Jadi, beneran deh di titik terendah bisa banget kita menemukan hal-hal bijak seperti ini. Sepanjang Frankl menceritakan kembali, ada banyak quotes yang dia “temukan”. Butuh kecerdasan emosi yang tinggi, empati yang tinggi, dan keingingan untuk hidup yang tinggi sampai dia masih hidup setelah selamat dari kamp konsentrasi. Kayaknya ga ada penderitaan lain yang sebanding dengan menjadi tawanan di kamp konsentrasi itu. Soalnya emosi bisa jadi the biggest “enemy”. Di titik terendah kita, gampang banget kita tergoda untuk memuaskan emosi dan ego kita. Jadi, ga jarang kita malah merasa jadi korban. Seolah dunia ga adil, kenapa aku, kenapa aku harus menderita, dsb. Buku ini eye opening banget buat penggambaran bahwa kita tuh ga pernah menderita sendirian. Setiap orang punya struggles-nya masing-masing yang jelas ga bisa kita bandingkan. Setiap orang juga punya caranya masing-masing untuk mengatasi struggles tersebut. Di buku ini, aku seolah diajak untuk ga judge orang-orang yang menyerah dalam perjuangannya. 

Di buku ini Frankl mem-propose satu cara untuk mengatasi penderitaan, yaitu logoterapi. Apa itu logoterapi? Dibandingkan psikoanalisis yang lebih introspektif, logoterapi itu lebih retrospektif. Logoterapi memusatkan perhatian pada masa depan, terutama tentang pencarian makna pada masa depan. Pencarian makna tuh jelas menimbulkan pergolakan batin, tapi emang bahan bakar itulah yang dibutuhkan agar sehat mental. Jadi, emang perjalanan menuju sehat mental pun udah a hell of a ride tersendiri. Dari buku ini, aku baru tau ternyata the pursuit of happiness udah ada dari zaman dulu. Tapi, bukan itulah tujuan kenapa manusia hidup menurut Frankl. Jelas, menurut beliau, tujuan hidup manusia adalah mencari makna. Ini adalah jenis buku yang bakal sering aku rujuk atau baca ulang to remind myself bahwa hidup tuh emang gini lho, how many times you deny it, penderitaan tuh bakal ada. Jadi, instead of ngedumel dan playing victim, yuk mari kita usaha cari makna dari penderitaan ini. Gampang banget ya ngomongnya, tapi believe me, soalnya aku lagi berproses di sini juga, ini jauh lebih susah menjalaninya. 

Trus apakah buku ini ada kekurangan? Sejauh ini sih aku belum menemukannya ya, terutama kekurangan yang menganggu banget. Ukuran font aman, terjemahan enak dibaca, hmm. Mungkin kalo ada buku yang bisa mensejajari buku ini dari segi science bakal membantu banget sih. Mungkin aku belum tau adakah buku lain “pendamping” buku ini, soalnya aku pikir ga semua orang bisa “segampang” dan semudah itu menemukan makna dari setiap penderitaan. Karena lebih nyaman buat kita untuk ngasih makan ego dan emosi kita, itu jelas. Nah, orang-orang jenis apa yang lebih mampu menderita? Kenapa bisa begitu dan gimana kita bisa melatih diri kita agar lebih kuat mental? Soalnya aku percaya ujian hidup kita tuh bakal selalu naik tingkat.

Resensator: Aulia A

Cracking Creativity: The Secrets of Creative Genius - Michael Michalko


 

Judul Buku:

Cracking Creativity - The Secrets of Creative Genius

Pengarang:

Michael Michalko

Jumlah Halaman: 311

Tahun Terbit: 2001

Penerbit: Ten Speed Press

Tiba-tiba menemukan buku ini saat lagi browsing buku apaa gitu.

Menurutku buku ini practical banget untuk diterapkan, dan ada banyak ilustrasi juga.

Singkatnya, buku ini membedah bagaimana orang-orang kayak Einstein, Leonardo Da Vinci, Mozart, Thomas Alfa Edison dan tokoh2 lain di dunia bisa jadi hebat / outstanding di bidangnya.

Di prolognya, si penulis menceritakan bahwa IQ itu tidak selalu berbanding lurus dengan kreativitas, makanya dia membedakan ada yang namanya “pintar” dan ada yang namanya “kreatif”. Dia mengilustrasikan orang yang IQ-nya tinggi kayak Marylint Vos Savant (IQ 228) itu nggak punya kontribusi apa-apa di bidang sains / seni. Sementara peraih nobel kayak Richard Feymann malah IQ nya cuma 128.

Nah trus, si penulis ini bilang bahwa bedanya orang yang “pintar” dan “kreatif” ini terletak pada kemampuan berpikir.

Orang pintar biasanya dia akan berpikir dengan cara “reproductive thinking”, yaitu dia bisa menerapkan cara2 yang udah diajarin. Misal, kita selalu diajarin bahwa 13:2 = 6,5.

Nah kalo orang kreatif biasanya dia akan berfikir dari sudut pandang yang lebih luas, ibaratnya kayak drone. Ibaratnya ada taman yang ada air mancurnya, orang pintar cuma terkotak di air mancur aja, sementara orang kreatif akan menganalisa dari keseluruhan taman.

Misal kayak tadi, orang pintar bilang bahwa 13:2 pasti jawabannya 6,5.

Kalau orang kreatif, belum tentu.

Bisa aja 13:2 = 

(1) thir dan teen

(2) enam dan setengah

(3) XIII : 2 = XI dan II

(4) 1 dan 3

Ketika kita biasa berpikir produktif, maka kita akan terbiasa memperkaya sudut pandang dan akan lebih memungkinkan menghasilkan banyak karya.

“If you always think the way you’ve always thought, you will always get what you’ve always got - the same old, same old ideas”.

Nah gimana caranya biar bisa jadi kreatif jenius kayak tokoh2 besar di atas? Michalko membedah beberapa strategi, diantaranya:

1. Seeing what no one else is seeing. Ada dua cara: 

a. Knowing how to see. Contohnya kayak yang menyelesaikan problem 13:2 di atas dengan berbagai perspektif penyelesaian.

b. Making your thought visible. Jadi misal kita pengen memahami suatu konsep atau mencapai suatu target, nah sebisa mungkin kita bikin konsep / target itu dalam suatu gambar / diagram / mindmap / infografis / permainan warna / karya 3D / flash card / lukisan. Apapun itu.

2. Thinking what no one else is thinking. Ini ada beberapa cara:

a. Thinking fluently / kelancaran berpikir. Ciri2 orang yang kreatif jenius adalah dia yang ekstra / super produktif dan punya “deadline” untuk produktivitasnya dalam menghasilkan suatu karya. Contoh: Thomas Edison menghasilkan 1093 paten selama hidupnya. Dia punya aturan utk diri sendiri bahwa dia harus punya 1 penemuan kecil setiap 10 hari dan 1 penemuan besar setiap 6 bulan.

Mozart memproduksi 600an keping musik.

Einstein memproduksi 248 paper.

“Out of their massive quantity of work came quality. Geniuses produce. Period.”

b. Making novel combinations / selalu membuat kombinasi ide. Gambarannya kayak main lego, bongkar - susun - bongkar - susun dengan bentuk yang beda2.

c. Connecting the unconnected

Gampangnya: hanya beberapa orang yang bisa melihat rasi bintang, orang biasa cuma bisa melihat bintang dalam titik titik putih saja.

d. Look at the other side

Kadang kita terpaksa mempelajari atau mengerjakan sesuatu yang nggak kita suka

Misal: orang ekonomi malah kecemplung di kerjaan yang berbau hukum, malah bidang hukum itu bisa memperkaya keilmuan ekonominya.

e. Looking in other worlds.

Misal: alexander graham bell terinspirasi bentuk telepon setelah mengeksplorasi bentuk telinga.

Atau misalnya kita disodori gambar ekosistem pegunungan deh. Kira2, apa yang akan terpikirkan pertama kali oleh pebisnis / investor? Pemerintah? Masyarakat di sekitarnya? NGO? Mahasiswa? Pasti di dunia yang berbeda, hal2 yang bisa dieksplorasi itu beda2.

f. Creative Accident

Contoh: mirip2 kayak yang tadi,

Jadi misal kadung keterima di bidang yang kita nggak suka tapi malah jadinya menekuni bidang itu.

g. Kolaborasi. Kalau ini udah jelas, karena banyak kepala, banyak ide, banyak pengayaan.

Michalko juga ngasih tau cara merestruktur ulang permasalahan kita / cara menjadi kreatif. Ada beberapa cara:

1. Buatlah lebih global atau lebih spesifik. 
Lebih spesifik: lebih cepet ketemu solusinya. Lebih global: menemukan gap / missing links, kayak nyari judul skripsi.
2. Pisahkan bagian-bagian di masalah itu. 
Tekniknya bisa 5W1H atau Fishbone / Ishikawa Diagram (susah dijelasin, temen2 bisa googling, hehe).
3. Permainan kata2. 
Kalau ada ide, ditulis biar ga ilang. Kalau pengen memahami suatu konsep, buatlah analogi biar lebih gampang. Atau, ubah objek jadi subjek. Misal: “gimana ya cara menjual kaos ini?” menjadi “gimana ya cara menggunakan kaos ini untuk jualan?”
4. Mengira2 respon. 
Pikirkan suatu benda, nah kira2 di benak anda, reaksi orang ketika mendengar hal itu gimana? Nah itu bisa dieksplor lebih lanjut.
5. Beralih perspektif. 
Tesla membayangkan dirinya di masa depan ketika menciptakan sesuatu.
6. Membuat masalah anda menjadi benda hidup / Anda sebagai bagian dari masalah. 
Misal: kalau anda membayangkan punya sahabat dalam imajinasi, apa yang bakal dikatakan sahabat anda kepada Anda tentang masalah / ide Anda?
7. Rotasi peran jika memungkinkan
8. Da Vinci Multiple perspektive. 
Ketika mendesain sepeda, Da Vinci memikirkan sudut pandang: 1) dirinya sebagai penemu, 2) Investor, 3) Pengguna, 4) Lingkungan dimana penemuannya akan digunakan
9. Gunakan pertanyaan. 
Misal: “kenapa mau jualan cimol?” diganti dengan pertanyaan “bagaimana cara jualan cimol?”

Overall: rate dari aku 9/10. Bukunya practical, gampang dipahami dan ada ilustrasi juga. Tapi personally dari aku kalo baca ini harus dijeda dengan aktivitas lain, karena bikin “mikir” terus. Wkwk
Bagus buat bahan brainstorming kelas2 bisnis. 

Yah, gitu aja. Semoga bermanfaat. ☺️

Resensator: Fikriyatul Falashifah