Judul: Man’s Search for Meaning
Penulis: Viktor E. Frankl
Penerbit: Noura Books
Cetakan: ke-8
Tahun Terbit: 2020
Jumlah halaman: 232
Ini salah satu buku popular yang banyak dirujuk oleh pekerja kesehatan mental macam psikiater dan psikolog. Aku awalnya penasaran dengan buku ini karena di salah satu IG Live-nya, dr. Jiemi Adrian pernah sebut soal ini. Katanya ini salah satu buku terbaik yang bicara soal pencarian makna atau tujuan hidup. Baik, aku cari bukunya dan akhirnya ketemu juga.
Aslinya buku ini ditulis dalam bahasa Jerman tapi aku membaca edisi terjemahan bahasa Indonesianya. Buku ini pertama kali terbit tahun 1946 di Vienna, Austria. Oh ya, betul sekali, tepat setahun setelah Perang Dunia II usai. Emang buku ini berbicara tentang perjuangan hidup Frankl waktu mendekam di kamp konsentrasi zaman Nazi.
Frankl menjadi satu dari sekian banyak orang Yahudi yang dipenjara di kamp konsentrasi Nazi. Lewat tulisan ini, dia menjelaskan secara detail bagaimana kehidupan di kamp konsentrasi. Ketika aku membaca ini, aku seolah dibawa ke tengah-tengah mereka, ikut melihat betapa sengsaranya hidup mereka. Dan aku jadi ga tahan ga membandingkan, ternyata hidupnya yang struggling ini ga ada apa-apanya dengan apa yang mereka alami. Ketika kita di titik terendah, masih punya keinginan untuk hidup aja tuh udah privilege banget. Padahal cuma keinginan ya, soalnya kita seolah dirampas hak paling dasar manusia kita: hak untuk hidup. Kita diperlakukan ga selayaknya manusia. Ugh, sungguh mengerikan kehidupan di kamp konsentrasi. Dan itu ga terjadi sebentar, itu sekitar 5-6 tahun sampai Jerman menyerah ke sekutu. Itu waktu yang lama. Aku bisa memaklumi ada banyak orang yang give up dengan hidupnya karena betapa besar penderitaan yang ditanggung. Dengan buku ini aku belajar empati, ga jarang aku berhenti baca buku ini soalnya ga kuat. Aku kan orangnya visual, jadi gampang buatku untuk membayangkan. Gila, aku ga bakal sanggup di posisi mereka.
Frankl ini termasuk salah satu yang beruntung karena dia psikiater. Dia basisnya emang dokter jadi dia lebih berguna daripada profesi lain di kamp tersebut. Itu enaknya, gimana ga enaknya? Banyak banget, salah satunya dia sering menangani teman-teman satu kamp yang sakit. Masalahnya kan mereka sangat mal-nourished, sakit sepele aja bisa mengancam nyawa mereka. Jadi, Frankl menyaksikan banyak sekali orang-orang putus asa yang udah ga punya daya juang. Mereka percaya dan mengantungkan hidupnya pada takdir. Sama sekali ga ada daya juang. So definitely, nasihat-nasihat kekinian macam “makanya bersyukur” atau “banyakin ibadah” ga akan banyak membantu mereka. Yah, itu semua bisa dimaklumi. Mau ngapain lagi? Keluarga mereka belum tentu masih ada ketika mereka keluar dari kamp. Semua harta benda udah ga ada. Nama, gelar, status ga ada harganya di mata Nazi. Mereka hidup buat apa? Mending udahi aja ini semua dan mati karena ga ada penderitaan lagi ketika kita udah mati. Agak depressive membaca buku ini karena penggambaran detail apa yang terjadi dan apa yang dialami Frankl dan teman-temannya di kamp konsentrasi ditulis dalam satu bab dengan jumlah halaman 138 halaman. Tentu Panjang dan cukup melelahkan tapi gaya kepenulisan Frankl membuat kita tuh penasaran, jadi apa sih yang membuat dia bisa bertahan dari segala siksaan duniawi ini? Padahal dia mendengar istri dan ayahnya dikirim ke kamp konsentrasi lain, bahkan katanya kemungkinan besarnya istrinya sudah meninggal. Terus dia hidup buat apa?
“Jika hidup benar-benar memiliki makna, maka harus ada makna di dalam penderitaan. Karena penderitaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Meskipun penderitaan itu merupakan nasib dan bentuk kematian. Tanpa penderitaan dan kematian, hidup manusia tidak sempurna.”
Frankl menemukan kesimpulan ini ketika dia mendekam di kamp konsentrasi. Betul, hidup ga bisa dinamakan hidup kalau ga ada penderitaan. Sama kayak mati, hidup itu udah satu paket dengan penderitaan. My take for this book, yah kalo kita gagal memaknai hidup kita, lalu kita terlalu banyak mengasihani diri sendiri karena penderitaan hidup, waktu yang diberikan Tuhan akan sia-sia dong?
Jadi, beneran deh di titik terendah bisa banget kita menemukan hal-hal bijak seperti ini. Sepanjang Frankl menceritakan kembali, ada banyak quotes yang dia “temukan”. Butuh kecerdasan emosi yang tinggi, empati yang tinggi, dan keingingan untuk hidup yang tinggi sampai dia masih hidup setelah selamat dari kamp konsentrasi. Kayaknya ga ada penderitaan lain yang sebanding dengan menjadi tawanan di kamp konsentrasi itu. Soalnya emosi bisa jadi the biggest “enemy”. Di titik terendah kita, gampang banget kita tergoda untuk memuaskan emosi dan ego kita. Jadi, ga jarang kita malah merasa jadi korban. Seolah dunia ga adil, kenapa aku, kenapa aku harus menderita, dsb. Buku ini eye opening banget buat penggambaran bahwa kita tuh ga pernah menderita sendirian. Setiap orang punya struggles-nya masing-masing yang jelas ga bisa kita bandingkan. Setiap orang juga punya caranya masing-masing untuk mengatasi struggles tersebut. Di buku ini, aku seolah diajak untuk ga judge orang-orang yang menyerah dalam perjuangannya.
Di buku ini Frankl mem-propose satu cara untuk mengatasi penderitaan, yaitu logoterapi. Apa itu logoterapi? Dibandingkan psikoanalisis yang lebih introspektif, logoterapi itu lebih retrospektif. Logoterapi memusatkan perhatian pada masa depan, terutama tentang pencarian makna pada masa depan. Pencarian makna tuh jelas menimbulkan pergolakan batin, tapi emang bahan bakar itulah yang dibutuhkan agar sehat mental. Jadi, emang perjalanan menuju sehat mental pun udah a hell of a ride tersendiri. Dari buku ini, aku baru tau ternyata the pursuit of happiness udah ada dari zaman dulu. Tapi, bukan itulah tujuan kenapa manusia hidup menurut Frankl. Jelas, menurut beliau, tujuan hidup manusia adalah mencari makna. Ini adalah jenis buku yang bakal sering aku rujuk atau baca ulang to remind myself bahwa hidup tuh emang gini lho, how many times you deny it, penderitaan tuh bakal ada. Jadi, instead of ngedumel dan playing victim, yuk mari kita usaha cari makna dari penderitaan ini. Gampang banget ya ngomongnya, tapi believe me, soalnya aku lagi berproses di sini juga, ini jauh lebih susah menjalaninya.
Trus apakah buku ini ada kekurangan? Sejauh ini sih aku belum menemukannya ya, terutama kekurangan yang menganggu banget. Ukuran font aman, terjemahan enak dibaca, hmm. Mungkin kalo ada buku yang bisa mensejajari buku ini dari segi science bakal membantu banget sih. Mungkin aku belum tau adakah buku lain “pendamping” buku ini, soalnya aku pikir ga semua orang bisa “segampang” dan semudah itu menemukan makna dari setiap penderitaan. Karena lebih nyaman buat kita untuk ngasih makan ego dan emosi kita, itu jelas. Nah, orang-orang jenis apa yang lebih mampu menderita? Kenapa bisa begitu dan gimana kita bisa melatih diri kita agar lebih kuat mental? Soalnya aku percaya ujian hidup kita tuh bakal selalu naik tingkat.
Resensator: Aulia A
No comments:
Post a Comment