Monday, August 15, 2022

Rantai Tak Putus: Ilmu Mumpuni Merawat UMKM di Indonesia - Dee Lestari

 



Judul Buku:

Rantai Tak Putus

Ilmu Mumpuni Merawat UMKM Indonesia

Penulis: Dewi “Dee” Lestari

Penerbit: Bentang Pustaka

Agustus 2000

Tebal Halaman: 222

Dulu beli buku ini karena di pikiranku kalau ini karya Dee, pasti nggak akan mengecewakan. Itu kayak impulsif aja sebenernya belinya tuh awalnya.

Sejujurnya, membaca halaman2 awal tuh agak2 membosankan, karena lebih kayak kumpulan cerpen biasa. Tapi semakin dibaca ternyata menarik juga.

Jadi ceritanya di buku ini tuh, mbak Dee kayak dibooking oleh Astra buat nulis tentang intisari kisah pejuang UMKM yang bergerak di bidang metalurgi (semacam alat2 industri besi / baja) gitu, nah di buku ini dikisahkanlah story setiap pengusaha industri ini, dari skala kecil hingga skala besar.

Jadi perusahaan Astra itu punya program CSR buat pendampingan UMKM di bidang yang aku sebutin di atas. Story Dee dibungkus epik dengan data UMKM di Indonesia, dimana dibilang 99,9% usaha di Indonesia didominasi UMKM dan menyumbang 63% GDP, meanwhile 0,1% dipegang perusahaan besar dan menyumbang 37% GDP. 

Ada 11 story di setiap pengusaha yang profilnya dikulik sama Dee di setiap bab buku ini, masing2 storynya unik. Ada yang bapaknya udah jadi pengusaha kaya tapi anaknya mau bikin usaha sendiri, ada yang usahanya melibatkan pekerja wanita padahal industrinya laki banget (besi/baja), ada yang istrinya juga ikut suport di usahanya, anaknya ada 9, jungkir balik dari mulai ga punya apa2 sampai jadi kaya, ada tokoh yang leadershipnya bagus banget, dll.

Buku ini dikemas apik dengan foto2 gambar industri / tokonya, foto tokohnya, foto women labour, trus ada highlight untuk quote2 yang bagus. Yang paling berkesan adalah gimana pendampingan Astra dan paradigma 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin). Jadi gimana bengkel2 yang kesannya kotor itu dirawat kebersihannya, ada fasilitas laundry karyawan, dll supaya menjadikan bengkel2 yang dipegang tiap pengusaha di story di buku ini jadi level up dan lebih profesional. Ide laundry baju karyawan sebenernya ide salah satu tokoh di buku ini. 

Buku ini lebih ke manajerial sih. Kayak misalnya ada karyawan yang baguuuus banget kerjaannya, tapi pengen keluar gitu krn udah PD jalanin bisnis sendiri. Tapi sama bosnya dikasih opsi: gimana kalo si karyawan ini bikin anak perusahaan dr perusahaannya aja, sambil dia belajar manajerial dll, dan pangsa pasarnya udah jelas kan. Akhirnya dia setuju. Nah tapi setelah agak lama tetep dia pengen purely mendirikan perusahaan sendiri, tapi sama bosnya dia respek banget krn jadi belajar banyak hal.

Buku ini mengangkat kisah nyata,, bagus banget, gimana CSR bisa membesarkan bisnis mereka. Yaa walaupun pelatihannya ada yg berbayar sih 😂

Cuman kalo dr sudut pandang turnover bisnis y lumayan, bengkel yg tadinya kumuh bisa jadi bersih dan kesannya profesional, seragam2 pekerjanya wangi2 krn di laundry.

Ada unsur kesetaraan gender juga.

Terus belajar bagaimana kita kalau di bisnis itu, yang penting itu manusianya. Kalo orang udah loyal ama kita, insya Allah bisa achieve yg tinggi.

Kalau pengen jadi pengusaha, buku ini rekomended banget buat dibaca. Nggak seberat buku Dee yang lain karena ini kayak biografi yang dibikin cerpen. Kayak cerita real life gitu.

Rating aku 9/10. Ini juga tipe buku yang aku enjoy baca sambil di perjalanan, enjoy baca sampai tuntas dan bikin takjub di setiap storynya.

The Talent Code - Daniel Coyle

 



Baru beres baca buku The Talent Code yang ditulis Daniel Coyle. Awalnya, baca buku ini karna berbicara tentang bakat. Selama beberapa tahun terakhir, cukup passionate dengan topik metacognition dan learn how to learn, kayanya seru aja gitu bisa nemuin cara yg paling efektif untuk melatih skill baru. 

Secara umum, buku ini bagus banget, karena bisa menarasikan pembahasan tentang bakat. Pertanyaan besar yg ingin dijawab oleh penulis dalam buku ini adalah: "Apakah keteranpilan performer terbaik di bidangnya itu berasal dari bakat? Atau ada latihan khusus yang mereka jalani? Trus ada hal lain yang mempengaruhi performa mereka?"

Di buku ini, Daniel Coyle membagi buku ini menjadi 3 bagian, yaitu: deep practice, ignition dan master coach. 

Di bagian deep practice, Daniel Coyle mengungkapkan bahwa cara latihan berpengaruh terhadap performa seorang performer. Latihan ini dinamakan deep practice. Sebenarnya, sidah ada beberapa penulis yg membahas latihan ini, ada yg menyebutkan deliberate practice juga. Katanya, performer yg baik itu berlatih secara sadar untuk mengasah setiap subskill satu per satu, hingga cara yg ia lakukan akurat. Dalam latihan ini, para performer melakukan banyak kesalahan dan belajar dari kesalahannya. Di bagian ini, Daniel bercerita tentang peran mielinisasi dalam pembetukan keahlian. Semakin sering kita berlatih, maka selubung mielin yang terbentuk akan semakin tebal, yang menandakan muscle memory sudah terbentuk dengan baik dan skill yang dilatih menjadi lebih otomatis.

Di bagian kedua, Daniel Coyle berbicara tentang inginition atau motivasi sebagai salaj satu pendukung dalam pembentukan skill seorang performer. Seorang yang termotivasi akan berlatih dengan semangat dan tekun karena tergerak oleh motivasi yang diberikan kepadanya. Di bagian ini, Daniel memberikan contoh berupa sejarah kemajuan sepak bola di brazil. Ternyata, satu tokoh yang mendahului kesuksesan di bidang olahraga sepak bola akan berpengaruh ke generasi-generasi berikutnya, hingga membentuk culture yang mendukung terbentuknya para pemain sepak bola. 

Di bagian ketiga, Daniel mengangkat bahasan tentang master coach. Seorang master coach akan membantu seorang performer untuk meningkatkan kemampuan pemain. Seorang master coach tidak hanya menguasai hal-hal teknis, tetapi mereka juga mengerti tentang strategi berlatih. Mereka juga terampil menggali informasi personal setiap anak didiknya dan menyesuaikan treatment berdasarkan kepribadian masing2.

Overall, buku ini bagus banget, risetnya mendalam dan cerita2 yang disajikan di buku ini sangat relevan di setiap bagiannnya. Hal yang paling saya suka adalah bahasan tentang jaman Renaisans. Pada masa itu, seorang pemula itu belajar sebagai anak magang yang dilatih selama bertahun2 oleh mentornya masing2. Seorang mentor akan melatih hal2 prinsipil dan praktik. Jadi, ga salah kalau pada masa itu, satu orang bisa menguasai beberapa skill, mulai dari sains, seni, hingga filosofi, karena pendekatan mentoringnya yg luar biasa. 

Setelah membaca buku ini, saya jadi ingat juga beberapa artikel keren yang membantu saya belajar skill baru dari situs Lifehacker yang ditulis Noa Kageyama, yang berjudul "A Better Way to Practice". This article changes the way I approach the skill I am going to learn. Trus artikel yang berjudul "I Learned to Speak Four Languages in a Few Years: Here's How" yang ditulis Gabriel Wyner di Lifehacker juga, yang berbicara tentang cara cepat belajar bahasa asing.

Resensator: Nas

Filosofi Teras - Henry Manampiring

 



Judul : Filosofi Teras

Karya : Henry Manampiring

Penerbit : Buku Kompas

Tebal : 312 Halaman

Kayaknya udah banyak yang baca buku ini. Disclaimer ini dari pov aku aja ya.

Menurutku buku ini bagus,dari segi bahasa juga ringan. Menyampaikan filsafat dengan bahasa yang mudah dipahami dan disampaikan dengan analogi kejadian  di kehidupan sehari-hari . Hal yang menarik dari Filosofi Teras (Stoikisme) ini terletak pada tujuannya yaitu ketenangan dalam menjalani hidup dan terbebas dari emosi negatif. 

Oleh karena itu, pada setiap bab Filososfi Teras terdapat poin-poin pelajaran yang dapat diambil, ada beberapa hal yang secara pribadi aku highlight :

- Fokus terhadap hal yang bisa kita kendalikan dan tidak pusing/stres untuk hal-hal yang diluar kendali kita.

-Menjalani kehidupan harus selaras dengan alam ( berjalan sesuai kehendak pencipta-Nya dan selaras dengan alam itu berarti kita harus mengandalkan akal nalar kita agar tidak terbawa arus yang menyimpang,dan akal ini yang membedakan kita dengan binatang)

-Jangan terlalu memikirkan hal yang belum terjadi ke depannya, biarkan berjalan sebagaimana mestinya, namun tetap diiringi dengan usaha agar  mendapatkan hasil yang maksimal.

- hanya diri kita yang dapat mengijinkan orang lain menyakiti kita secara non fisik (hinaan,cemoohan,disepelekan). Tidak ada penghinaan yang benar2 terjari jika tidak ada yang merasa terhina

 - Kita merupakan kosmopolit (warga dunia). Jangan diskriminatif dan membeda-bedakan. Apakah kita bisa merasa peduli terhadap kesusahan mereka yang berbeda suku,ras,agama, dan lain2 ?

Demikian review dari aku ya, terimakasiih.

Resensator: M. As'ad.

Stretching In The Office - Bob Anderson


Semakin majunya teknologi, banyak pekerjaan yang harus d selesaikan d depan layar komputer. Banyak dari kita sering kali tidak memperhatikan posisi anatomi yang benar saat duduk, seberapa jarak aman dengan layar, posisi derajat layar dan sebagainya. Selanjutnya, jarang juga memberikan kesempatan otot-otot kita bergerak ataupun diberikan peregangan. 

Buku ini ditulis seorang ahli yang benar2 konsen pada bidang stretching, jean anderson. Secara khusus sekitar tahun 2002 beliau menulis dengan fokus pada karyawan di kantor. Isi buku menggambarkan mengapa pentingnya peregangan, bagaimana melakukannya secara efektif dan benar. 

Meski ditulis menggunakan bahasa inggris, tetapi cukup mudah dipahami karena banyak didukung gambar-gambar contoh pelaksanaan. Secara pribadi buku ini sangatlah penting untuk dapat dipahami dan dipraktikkan bagi semua orang yang beraktivitas sesuai yang tergambar pada buku ini "officer".

Resensator: Fatkhur Rozi

Per[t]empu[r]an - Lenang Manggala dan Marie Ngadea

 



Sealbum Puisigrafi

Per[t]empu[r]an

Karya: Lenang Manggala (puisi dan prosa) dan Marie Ngadea (Fotografi - Spanyol)

Penerbit: CV Kekata Grup - Surakarta, 2016

Tebal: 173 halaman

Baca buku ini berasa agak jumping dari bacaan2 minggu lalu. Hehehe. Dari buku ini aku belajar shifting yang ternyata agak berat, dari buku2 head-start (based on fact, research, agak mikir) ke buku2 heart-start (penuh nuansa rasa dan interpretasi makna).

Puisi dan prosa buku ini digambarkan oleh dua tokoh, laki-laki dan perempuan anonim. Penyebutannya hanya aku dan kamu, tanpa nama. Nah dua orang ini ketemu di beberapa segmen: di kamar (tapi nggak vulgar sih), di meja tempat ngopi, di jalan, dan di pesawat menuju Jepang.

Dari halaman awal sampe akhir nyambung sih ceritanya, tapi butuh baca 2-3 kali untuk bisa memahami dan menginterpretasikan.

Buku ini nggak cocok dibaca dengan gaya speed-reading, cocoknya sambil nyantai,, sambil ngopi di kafe sendirian, nyari inspirasi, baca di taman, di kereta scenic train kaligung semarang - pekalongan, atau di kamar hotel pas lagi staycation. Wkwkwk

Cerita yang diangkat macem2, ada soal cinta, kerinduan, komitmen, sampe isu sosial kayak kerusuhan mei 98, isu lingkungan, pengangguran, korupsi dan kejahatan kerah putih, tapi ya,, ini puisi dan prosa. Lagi2 tentang interpretasi makna.

Tema perempuan emang gak pernah “kering” dalam karya sastra. Tapi di buku ini mengajarkan untuk “look into your soul”, karena bagaimana kita memandang dan merasai hidup, itu tergantung gimana kita menata hati dan memahami situasi.

Selain itu, fotografinya Marie Ngadea juga bagus banget. Nggak banyak foto2 black and white yang bisa stand out, seolah2 ngeblend sama puisi dan prosanya.

Overall:

8/10 rating dari aku.

Resensator: Fikriyatul Falashifah

The Culture Code - Daniel Coyle

 

Baru beres baca, setelah semingguan lebih... Bagus banget bukunya, banyak berbagi tentang  kiat2 membangun culture (tim yg sukses), berdasarkan hasil riset pada 8 grup tersukses. I  rate this 4.8/5 due to its awesomeness, mulai dari strukturnya yg rapih, alurnya yg koheren dan tips2nya yg aplikatif dan mudah dipahami. 

Buku ini berisi tentang hal2 fundamental dalam membangun tim yg baik, membangun keamanan, berbagi kerapuhan dan menetapkan  tujuan. Di bagian awal, buku ini bercerita tentang pentingnya KEBERSAMAAN dalam tim.  Dan cara yg efektif membangun kebersamaan adalah: berinteraksi secara intens, menanamkan bahwa kelompok tsb istimewa, berfokus pada perspektif skema besar, dan menciptakan kenyamanan. Dalam mendesain kebersamaan, leader perlu membangun ruang interaksi yang intens, yg menghilangkan jarak. 

Ada beberapa aksi yg bisa dijalankan untuk menjalin kebersamaan, yaitu: 
• menunjukkan minat untuk mendengar 
• mengakui kesalahan dan menunjukkan kerapuhan
• memperbanyak ucapan terima kasih
• berusaha melakukan yang terbaik
• menciptakan rasa aman pada tim
• menghindari tanggapan basa basi.

Hal yang paling menarik dalam buku ini adalah bahasan tentang perbedaan memimpin untuk membangun keahlian dan kreativitas. Memimpin untuk membangun keahlian yang baik dilakukan dengan berbagi aturan, pakem dan cara secara repetitif, sedangkan memimpin untuk membangun kreativitas dan inovasi dapat dilakukan dengan menciptakan suasana yang aman bagi kesalahan, dan mentoleransi kesalahan dalam menemukan inovasi baru. 

Overall, buku ini bagus banget!!!!

Resensator: Nas

Sapiens - Yuval Noah Harari

 


Judul: Sapiens Grafis Volume 1
Penulis: Yuval Noah Harari
Penerbit: KPG
Tahun terbit: 2021
Jumlah halaman: 248 
 
Sapiens adalah salah satu buku ter- breakthrough sepanjang sejarah. Dan sekarang Sapiens sudah diadaptasi dalam bentuk grafis aka komik. Setelah aku pastikan sudah membaca bukunya, aku baca versi grafisnya. So, aku bakal kasih sedikit komparasi.
 
Ada orang yang lebih enjoy membaca buku, ada juga yang lebih enjoy membaca komik. Jadi, selain audiens nya berbeda, jelas materi yang disampaikan di dua platform ini juga beda. Aku bisa enjoy dua-duanya karena gaya kepenulisan Harari tuh enak banget, kayak ngedongeng. Jadi buku berat seperti ini disampaikan dengan fun dan sama sekali ga menggurui, malah kayak bedtime stories gitu. Kayak lagi sharing. 
 
Untuk versi grafisnya, aku beli yang bahasa Indonesia. Jadi, seharusnya ga terlalu banyak mistranslasi di dalamnya. Untuk bukunya sendiri, aku baca yang versi Engslih. Ini recommended banget sih soalnya ya itu tadi, readability nya juara.
 
Oke, lanjut bahas versi grafisnya. Secara penampilan, karena Sapiens grafis rumornya mau dibikin 5 volume, jadi per volume cuma sekitar <300 halaman. Kertas yang digunakan termasuk ringan, full color, dan pemilihan warnanya sesungguhnya ramah buat anak kecil. Aku agak kaget waktu buka halaman belakang buku ini, eh ternyata rating nya Untuk Dewasa. Haha, padahal beberapa hal masih disensor ya, so definitely buku ini butuh pendampingan orang tua ketika mau diberikan ke anak-anak. Font size nya agak kecil ya, katanya lebih kecil dari Grafis versi English, dimana itu cukup mengganggu di aku. 
 
Sapiens adalah satu satu buku yang personally wide eye opening buatku. Buku ini memberikan gambaran sistematis, singkat tapi padat tentang sejarah homo sapiens selama kurang lebih 300.000 tahun yang lalu. Aku mau share hal-hal apa saja yang baru buat aku begitu aku baca grafis ini:
 
1. Ternyata ketika sapiens hidup, kita berdampingan dengan 4 jenis homo lainnya, seperti Neandertal, Erectus, Denisova dan Floresiensis. Jadi gambar sederhana yang menggambarkan manusia berevolusi dari A ke Z bukanlah gambaran sebenarnya kehidupan ini karena kesannya setelah A punah, baru muncul B. Padahal kenyataannya ga begitu. Itulah yang disebut evolusi. Teori yang sangat menarik yet controversial. 

2. Kalo ada 4 spesies homo lain, kenapa sekarang cuma ada sapiens? Nah, inilah titik dimulainya cerita di grafis ini. Terjadi banyak revolusi sepanjang eksistensi manusia, mulai dari revolusi kognitif hingga industry. Khusus di Grafis ini, baru dibahas tentang kognitif. Dibandingkan dengan homo yang lain, sapiens berevolusi dengan otak yang lebih efisien.

3. Begitu api ditemukan, kehidupan menjadi jauh lebih efisien. Manusia tidak lagi membutuhkan berjam-jam mengunyah karena api membuat makanan lebih nikmat disantap. Di situlah berkembang fiksi. Setelah ada api, banyak waktu kosong yang ada dimanfaatkan manusia untuk mengembangkan fiksi. Nah, ini yang paling membuatku berpikir. Belum lagi soal realitas menurut Harari. Bahwa ada tiga jenis realitas: subjektif, objektif dan intersubjektif. Realitas intersubjektif itu justru yang paling penting bagi peradaban manusia. 

4. Warisan pemburu pengumpul. Segala permasalahan yang ada saat ini bisa dilihat akarnya dari zaman pemburu pengumpul, seperti kegemukan. Lho, apa kaitannya? Zaman dahulu, kita mau makan aja harus extra effort. Kalopun nemu, mending kita timbun agar ga kelaparan. Sekarang, mencari makanan tuh jauh lebih gampang, tapi apa yang terjadi? Orang bisa mati karena banyak makan daripada kelaparan lho. 

5. Berkat kemampuannya membuat fiksi, peradaban manusia berkembang. Termasuk tentang segala hal yang kita pegang saat ini, misalnya agama, kepercayaan, dinamika social budaya… ga jauh-jauh dari fiksi. Sekali lagi, fiksi itu penting untuk kehidupan manusia. Waktu pertama kali aku dengar soal fiksi ini, emang cukup mengguncang diriku tapi aku lanjutkan baca aja. Menarik sekali.

6. Grafis ini ditutup dengan usaha menjawab pertanyaan di awal tadi: kenapa begitu sapiens muncul, ada 4 spesies lain tetapi sekarang kemana perginya mereka? Bukti sejarah mengatakan bahwa punahnya megaspesies di Australia adalah karena ulah Sapiens. Di sini aku belajar that when we’re talking about science, ga ada nilai moral di dalamnya, termasuk baik/buruk dan benar/salah. Apakah sapiens pada saat itu bisa disalahkan karena pemusnahan massal megafauna Australia? Mungkin aja mereka lakukan itu untuk survival kan? Karena kalo tujuannya survival, ga ada yang namanya dikotomi benar/salah atau spektrum baik/buruk. Lalu, grafis ini memberikan gambaran layaknya Sapiens dipenjara karena memusnahkan megafauna? Konteks persidangan membuat narasi ini jadi makin menarik. Ignorance ga bisa membenarkan mereka, oh ya aku setuju. Karena kita semua juga sapiens. Apakah kita sadar selama ini apa yang kita lakukan? Apakah ada yang sengaja kita lakukan untuk memastikan eksistensi kita di bumi ini? Ini jadi refleksi yang besar buat aku. Jadi makin berpikir. Aku suka sources of knowledge yang bikin mikir jauh setelah aku selesai baca.

baca Sapiens ceu, versi English aja, soalnya enak banget dibacanya sumpah. 

jadi sebelum ada api, manusia menghabiskan 6-8 jam mengunyah. setelah ada api, makanan ga butuh waktu banyak dikunyah kan, sisa waktu yang ada digunakan untuk mengembangkan bahasa. dari situlah bahasa muncul. aku bisa bayangkan tiap malam selesai berburu, sebelum mereka tidur, ada api anggun dimana mereka bersosialisasi. bahas apaan selain gosip dong? dari situlah gosip muncul. nah, fiksi itu ya salah satu contohnya adalah gosip itu tadi. semakin berkembang peradaban (alias udah masuk era revolusi industri), fiksi yang berkembang pun makin banyak. perusahaan sekelas Peugeot itu kan fiksi. negara Indonesia Raya ini fiksi. realitas intersubjektif. manusia membutuhkan fiksi untuk menjalin hubungan dengan manusia lain, ya biar bisa kerjasama itu tadi. 

"Trus aku jg jd mikir, demi eksistensi, sapiens memusnahkan spesies. Tapi misal somehow kita pada akhirnya bergantung pada spesies itu utk rantai kehidupan, apa itu ga sama kayak bunuh diri?" yang ini maksudnya gimana ceu? aku belum nangkep 

saling membunuh itu menurutku muncul dari salah paham aja sih ceu simply said. emang betul manusia drive utamanya ada dua: mempertahankan hidup dan meneruskan keturunan. fiksi seperti sikap rasis bisa dikembangkan jadi sikap manusia yang merasa ras mereka paling unggul dan jadi pembenaran membantai ras lain. itu fiksi ceu. ideologi juga fiksi karena semua itu buatan manusia.

Resensator: Aulia Arifaturrohmah


The Science of Getting Rich - Wallace D. Watless



Jadi aku tuh baca buku tentang The Science of Getting Rich. Singkatnya, buku ini tuh nyeritain ironi bahwa justru kecenderungan “yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin” itu memang more or less banyak benernya. Terjadi di lapangan.

Orang kaya tuh justru bukan orang yang banyak saving. Malah justru mereka yang banyak spending. Lucu ya. But that’s the fact though.

Mereka yang kaya tuh punya semacam “indera keenam” in a way of seeing things and doing things in Certain Way

Certain Way ini yang membedakan Pekerja dengan Bos.

Bos doing certain way dan banyak spending to create something dan part of something itu dikerjain oleh Pekerja. Si pekerja ngerjain hal yang sama berulang kali, dia pengen kaya dengan cara nabung dari gajinya. Took a long time though.

The science of getting rich ini ngebuka pikiran kita untuk bersikap dan berfikir seperti bos in a way to create something. Treatmentnya adalah gini: coba liat benda2 yang ada di sekitar kita, yang visible terlihat dari rumah kita. Ada halaman rumah, furnitur, alat2 elektronik dll yang mostly merupakan hasil karya orang kaya. Di dalam buat bahan misalnya: rice cooker. As a user, kita cuma mikir itu buat nanak nasi dll. Tapi as a creator, mereka berfikir beda: bahan pembuatannya, teknik manufacturingnya, distribusinya, inovasi produknya, dll.

Nah treatment ini ngajarin kita buat “lihat peluang” dari suatu benda / kondisi, kayak di buku dibilang “life is a performance of how certain things are functioning”. Intinya gt. 

Relevansinya dengan isu pendidikan? Yes. Akarnya adalah kita diajarin suatu ilmu, lalu di tes. Kalo lulus dibilang pintar. Indikatornya adalah nilai tertentu. Misal coba indikatornya diganti jadi kebermanfaatan atau user experience dari ilmu kita, pasti bakal lebih challenging yet meaningful ya, hehehe,, 

Yhaa memang kita diajarin suatu ilmu tapi gak diajarin gimana cara “selling ourself” dengan ilmunya, jadi penimbun ilmu. Bener. Habis itu menguap 🤣 wkwkwk.

Resensator: Fikriyatul Falashifah

Potongan Buku dari Rework

 


saya baru baca buku ini, bagus banget, saya bacanya ga sampe 2 hari karena bahasanya sederhana, kaya diajak ngobrol... Setiap lembarnya ilmu semua, jadi agak bingung milah poin2 yg mau dihighlight.

Garis besarnya tentang mengatur pola kerja sih, mulai dari mindset, tips produktivitas, sampe strategi juga... Kaya diajak ngobrol.

Tidurlah 

Kemampuan untuk tetap sabar dan toleran sangat berkurang apabila kita letih. Jika Anda menemukan seorang yang bertingkah bodoh, ada kemungkinan iya kurang tidur.

Resensator: Nas



Antara Hiragana dan Aksara Jawa - Iif Nur Afifah

 


Judul: Antara Hiragana dan Aksara Jawa

Halaman: 152 halaman

Penerbit: Deepublish

Link: http://webadmin.ipusnas.id/ipusnas/publications/books/190039/

Tertarik baca ini pas muncul di laman beranda aplikasi perpusnasku. Judulnya menarik dan gambar covernya juga menarik, dan aku kebetulan juga agak tertarik dengan hal2 terkait budaya gitu.

Ini bukunya diceritakan dari sudut pandang orang pertama, semacam buku diary juga kayak kemarin mirip2 sama storynya Frank mungkin ya. Karena seakan menceritakan dirinya sendiri.

Dikisahkan bahwa penulisnya, Bu Afifah, adalah seorang guru honorer yang mengampu mata pelajaran bahasa Inggris. Dia cintaaa banget sama bahasa Inggris, saking cintanya kadang jam mengajarnya tuh berasa kurang kalo mengajar bahasa Inggris.

Awalnya dia ngajar di SD. Ngajar SD tuh awalnya menurut dia gampang2 susah karena memahamkan bahasa baru kepada anak2 dengan berbagai tingkahnya di kelas. Tapi dia sebenernya seneng dan terhibur dengan tingkah lucu2 anak SD kadang2.

Hingga suatu hari, pindahlah dia ke SMA, tapi masih sebagai guru honorer. Dia ngajar bahasa Inggris di SMA. Awalnya dia pikir lebih mudah ngajarin orang yang sudah agak dewasa, tapi ternyata sulit juga. Kadang dinyinyirin, dicuekin, dibully. Somehow kadang2 dia kangen ngajar di SD dengan tingkah anak2 yg lucu dan polos.

Si penulis ini, bu Afifah, menjadi guru honorer berprestasi karena berhasil mencari bibit2 unggul di antara siswa2nya untuk ikut lomba debat bahasa Inggris dan bisa memenangkan juara debat bahasa Inggris. Kehadirannya di SMA sebagai guru bahasa mulai diapresiasi. Namun, bertambahlah bebannya ketika ada guru bahasa Inggris PNS baru di SMA nya. Akibatnya, karena kedatangan guru PNS, jam mengajarnya harus dikurangi karena dia harus berbagi jam pelajaran dengan guru PNS yang kebetulan juga mengampu bahasa Inggris ini.

Masalah bertambah lagi ketika ujug2 atau tiba2, dia harus mengajar bahasa jawa! Jederr! Tiba2 harus ngajar bahasa jawa walaupun dia backgroundnya bahasa Inggris. Pas ngajar bahasa Jawa ini, dia bener2 gak suka tapi tetep dia jalani. Yang biasanya ngajar bahasa Inggris dia seneeng banget kalo ada yang nanya, sekarang dia pengen ga ada yg nanya deh murid2nya. Yang biasanya jam mengajar serasa cepet dan kurang banget, sekarang kayaknya dia pengen cepet2 pulang. Yang biasanya dia jago pengayaan bahasa Inggris, sekarang harus belajar dari nol utk mengajar bahasa jawa. Modal nekad lah, akhirnya dia jalani. Kata ibunya: “jadi guru itu harus serba bisa”, yang jadi penyemangatnya, karena memang sedari dulu cita2 afifah ini memang jadi guru.

Lambat laun mempelajari bahasa jawa dia terbawa asiknya. Walaupun awalnya setengah hati. Dia akhirnya menemukan filosofi2 menarik dibalik aksara Hanacaraka, juga cerita dibalik tembang macapat, serunya bercakap2 dengan tatanan krama inggil dan cerita2 rakyat jawa. Walaupun waktu nembang jawa banyak muridnya bilang “nggak pantes Bu” karena biasanya cas cis cus bahasa Inggris tiba2 harus medhok gemulai.

Pas dia udah mulai jatuh cinta dan enjoy ngajarin bahasa Jawa, eeeeeh dilempar lagi. Usut punya usut, sekolah butuh akreditasi atau apaa gitu. Butuh pengajar bahasa Asing intinya. Singkat cerita, disuruhlah si bu Afifah ini buat ngajarin bahasa Jepang. Lah, hanacaraka dengan segala aksara kritingnya aja dia belajar lagi setengah mati, gimana ini suruh ngajarin bahasa Jepang yang dia gak ngerti sama sekali? Bahkan gak pernah dipakai sama dia di percakapan sehari2? Dengan huruf hiragana dan katakana yang dia gak pernah menyentuh blas dalam hidupnya?

Tapi dia pantang menyerah. Dia cari tau guru bahasa Jepang lain di kota itu dan belajar darinya. Kebetulan guru ini juga pernah exchange di Jepang. Akhirnya dia mulai rajin mempelajari bahasa Jepang dari buku Sakura 1,2,3 dan rajin nonton NHK world. Dia memperkenalkan bahasa Jepang dengan cara unik, seperti ngajarin kesenian origami dan kirigami. Kirigami ini seni membuat bunga dari kertas.

Singkat cerita, dia ketemu temennya yang juga punya background bahasa Jepang dan punya komunitas cosplay. Temennya itu pengen bikin festival Jepang bunkasai untuk memperkenalkan budaya Jepang. Temennya ini punya ide gimana kalo bikin festival Jepang di sekolahnya afifah. Afifah awalnya berat, tapi akhirnya menyetujui.

Akhirnya, dengan kerja keras, terciptalah pagelaran bunkasai dengan perpaduan Jawa dan Jepang. Budaya itu melebur. Ada pesta jajanan jepang, cosplay dan pagelaran drama. Pagelaran drama ini unik karena memadukan cerita kaguyahime dan timun mas. Ceritanya sedikit aku spill capturannya di bawah karena indah dan aku ga bisa ceritain ulang wkwkwk.

Dan bu afifah tetap mencintai pekerjaannya, walaupun berkali2 daftar PNS tapi gagal terus. Anyway, dia kangen ngajar bahasa Inggris lagi.

Buku ini ringan, dibaca semaleman juga selesai. Tapi sarat makna yang terkandung di dalamnya. 11/10 lah ratingku. Karena serasa baca novel, tapi ada pengetahuannya, sekalian belajar bahasa dan budaya juga.

Resensator: Fikriyatul Falashifah

Tuesday, July 5, 2022

Sagu Papua untuk Dunia - Ahmad Arif

 


Judul: Sagu Papua untuk Dunia

Penulis: Ahmad Arif

Tertarik baca buku ini karena kebetulan saya tinggal di Ternate (Maluku Utara). Konsumsi sagu di sini cukup tinggi, biasanya dalam bentuk sagu lempeng yang sudah dibakar dan tepung sagu. Banyak juga rumah makan dengan sajian utama papeda+seafood.

Buku pertama dari "Seri Pangan Nusantara" terbitan KPG. Bukunya gak terlalu tebal, sekitar 200an halaman dengan 7 bab (termasuk prolog dan epilog) di dalamnya. Saya baca di iPusnas.

Buku ini kaya data dan memuat banyak foto, jadi sembari membaca bisa langsung membayangkan bentuk hutan sagu, pengolahan sagu, juga orang-orang Papua yang hidupnya dekat dengan sagu.

Informasinya padat dan betul-betul menambah wawasan, terutama terkait kebijakan pangan pemerintah yang justru membawa kita makin dekat ke krisis pangan. 

Sagu tumbuh secara alami di wilayah tropis Asia Tenggara, terutama di ekosistem rawa dan gambut. Dulu sekali, masyarakat nusantara mengkonsumsi sagu sebagai sumber karbohidrat utama. Makin ke sini tren pangan kita makin beralih ke beras dan gandum yang sebenarnya bukanlah tumbuhan asli nusantara. Kebijakan pemerintah Indonesia yang saat ini condong sekali ke beras, berdampak pada ancaman krisis pangan di tahun-tahun mendatang. Sagu bisa jadi alternatif yang sangat baik sebagai sumber pangan masa depan karena potensinya masih sangat besar, sesuai untuk dibudidayakan di Indonesia, dan tentunya bergizi tinggi. Budidaya sagu juga dinilai lebih ramah lingkungan karena tidak perlu mengubah lansekap asli suatu wilayah, berbeda dengan padi yang perlu lahan khusus untuk dijadikan sawah.

Tapi bahkan orang Papua kini sudah banyak yang beralih ke beras sejak adanya program raskin beberapa tahun belakangan. Gandum juga makin tinggi konsumsinya, utamanya dalam bentuk mi instan. Jadilah masyarakat Papua kini tergantung dengan beras yang di pasok dari luar wilayah tersebut. Masyarakat miskin banyak tidak mampu membeli beras akhirnya kelaparan, angka gizi burukpun meningkat. Padahal sagu tersedia di alam, tapi sayangnya mereka sudah ketagihan nasi. Miris sekali, masyarakat yang selama ratusan tahun sudah mengalami kedaulatan pangan, sekarang lapar di lumbungnya sendiri.

Kalau kupikir-kupikir, promosi sagu sebagai sumber karbohidrat pokok mungkin bisa meniru booming-nya produk-produk olahan umbi porang (shirataki) yang dilabeli "karbo rendah kalori". Pelabelan semacam ini ternyata menarik banyak orang untuk beralih dari nasi ke porang karena dinilai lebih sehat. Sagu yang punya indeks glikemik rendah juga bisa dijadikan pangan pengganti. Ini cocoknya jadi tugas influencer penganut super healthy lifestyle aja buat mengajak khalayak untuk konsumsi sagu dan ragam jenis pangan nusantara yang lain. Lagipula makan lebih beragam terbukti lebih menyehatkan badan.

Selepas baca buku ini, rasa lapar langsung muncul hahaa. Saya terbayang-bayang nikmatnya makan papeda pakai ikan kuah kuning, kemudian ditambah makanan penutup ongol-ongol dengan kelapa melimpah ruah di atasnya, ah mantaaaap...

Resensator: Reyna

Man's Search for Meaning - Viktor E. Frankl

 

Judul: Man’s Search for Meaning

Penulis: Viktor E. Frankl

Penerbit: Noura Books

Cetakan: ke-8

Tahun Terbit: 2020

Jumlah halaman: 232

Ini salah satu buku popular yang banyak dirujuk oleh pekerja kesehatan mental macam psikiater dan psikolog. Aku awalnya penasaran dengan buku ini karena di salah satu IG Live-nya, dr. Jiemi Adrian pernah sebut soal ini. Katanya ini salah satu buku terbaik yang bicara soal pencarian makna atau tujuan hidup. Baik, aku cari bukunya dan akhirnya ketemu juga. 

Aslinya buku ini ditulis dalam bahasa Jerman tapi aku membaca edisi terjemahan bahasa Indonesianya. Buku ini pertama kali terbit tahun 1946 di Vienna, Austria. Oh ya, betul sekali, tepat setahun setelah Perang Dunia II usai. Emang buku ini berbicara tentang perjuangan hidup Frankl waktu mendekam di kamp konsentrasi zaman Nazi. 

Frankl menjadi satu dari sekian banyak orang Yahudi yang dipenjara di kamp konsentrasi Nazi. Lewat tulisan ini, dia menjelaskan secara detail bagaimana kehidupan di kamp konsentrasi. Ketika aku membaca ini, aku seolah dibawa ke tengah-tengah mereka, ikut melihat betapa sengsaranya hidup mereka. Dan aku jadi ga tahan ga membandingkan, ternyata hidupnya yang struggling ini ga ada apa-apanya dengan apa yang mereka alami. Ketika kita di titik terendah, masih punya keinginan untuk hidup aja tuh udah privilege banget. Padahal cuma keinginan ya, soalnya kita seolah dirampas hak paling dasar manusia kita: hak untuk hidup. Kita diperlakukan ga selayaknya manusia. Ugh, sungguh mengerikan kehidupan di kamp konsentrasi. Dan itu ga terjadi sebentar, itu sekitar 5-6 tahun sampai Jerman menyerah ke sekutu. Itu waktu yang lama. Aku bisa memaklumi ada banyak orang yang give up dengan hidupnya karena betapa besar penderitaan yang ditanggung. Dengan buku ini aku belajar empati, ga jarang aku berhenti baca buku ini soalnya ga kuat. Aku kan orangnya visual, jadi gampang buatku untuk membayangkan. Gila, aku ga bakal sanggup di posisi mereka. 

Frankl ini termasuk salah satu yang beruntung karena dia psikiater. Dia basisnya emang dokter jadi dia lebih berguna daripada profesi lain di kamp tersebut. Itu enaknya, gimana ga enaknya? Banyak banget, salah satunya dia sering menangani teman-teman satu kamp yang sakit. Masalahnya kan mereka sangat mal-nourished, sakit sepele aja bisa mengancam nyawa mereka. Jadi, Frankl menyaksikan banyak sekali orang-orang putus asa yang udah ga punya daya juang. Mereka percaya dan mengantungkan hidupnya pada takdir. Sama sekali ga ada daya juang. So definitely, nasihat-nasihat kekinian macam “makanya bersyukur” atau “banyakin ibadah” ga akan banyak membantu mereka. Yah, itu semua bisa dimaklumi. Mau ngapain lagi? Keluarga mereka belum tentu masih ada ketika mereka keluar dari kamp. Semua harta benda udah ga ada. Nama, gelar, status ga ada harganya di mata Nazi. Mereka hidup buat apa? Mending udahi aja ini semua dan mati karena ga ada penderitaan lagi ketika kita udah mati. Agak depressive membaca buku ini karena penggambaran detail apa yang terjadi dan apa yang dialami Frankl dan teman-temannya di kamp konsentrasi ditulis dalam satu bab dengan jumlah halaman 138 halaman. Tentu Panjang dan cukup melelahkan tapi gaya kepenulisan Frankl membuat kita tuh penasaran, jadi apa sih yang membuat dia bisa bertahan dari segala siksaan duniawi ini? Padahal dia mendengar istri dan ayahnya dikirim ke kamp konsentrasi lain, bahkan katanya kemungkinan besarnya istrinya sudah meninggal. Terus dia hidup buat apa?

Jika hidup benar-benar memiliki makna, maka harus ada makna di dalam penderitaan. Karena penderitaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Meskipun penderitaan itu merupakan nasib dan bentuk kematian. Tanpa penderitaan dan kematian, hidup manusia tidak sempurna.”

Frankl menemukan kesimpulan ini ketika dia mendekam di kamp konsentrasi. Betul, hidup ga bisa dinamakan hidup kalau ga ada penderitaan. Sama kayak mati, hidup itu udah satu paket dengan penderitaan. My take for this book, yah kalo kita gagal memaknai hidup kita, lalu kita terlalu banyak mengasihani diri sendiri karena penderitaan hidup, waktu yang diberikan Tuhan akan sia-sia dong? 

Jadi, beneran deh di titik terendah bisa banget kita menemukan hal-hal bijak seperti ini. Sepanjang Frankl menceritakan kembali, ada banyak quotes yang dia “temukan”. Butuh kecerdasan emosi yang tinggi, empati yang tinggi, dan keingingan untuk hidup yang tinggi sampai dia masih hidup setelah selamat dari kamp konsentrasi. Kayaknya ga ada penderitaan lain yang sebanding dengan menjadi tawanan di kamp konsentrasi itu. Soalnya emosi bisa jadi the biggest “enemy”. Di titik terendah kita, gampang banget kita tergoda untuk memuaskan emosi dan ego kita. Jadi, ga jarang kita malah merasa jadi korban. Seolah dunia ga adil, kenapa aku, kenapa aku harus menderita, dsb. Buku ini eye opening banget buat penggambaran bahwa kita tuh ga pernah menderita sendirian. Setiap orang punya struggles-nya masing-masing yang jelas ga bisa kita bandingkan. Setiap orang juga punya caranya masing-masing untuk mengatasi struggles tersebut. Di buku ini, aku seolah diajak untuk ga judge orang-orang yang menyerah dalam perjuangannya. 

Di buku ini Frankl mem-propose satu cara untuk mengatasi penderitaan, yaitu logoterapi. Apa itu logoterapi? Dibandingkan psikoanalisis yang lebih introspektif, logoterapi itu lebih retrospektif. Logoterapi memusatkan perhatian pada masa depan, terutama tentang pencarian makna pada masa depan. Pencarian makna tuh jelas menimbulkan pergolakan batin, tapi emang bahan bakar itulah yang dibutuhkan agar sehat mental. Jadi, emang perjalanan menuju sehat mental pun udah a hell of a ride tersendiri. Dari buku ini, aku baru tau ternyata the pursuit of happiness udah ada dari zaman dulu. Tapi, bukan itulah tujuan kenapa manusia hidup menurut Frankl. Jelas, menurut beliau, tujuan hidup manusia adalah mencari makna. Ini adalah jenis buku yang bakal sering aku rujuk atau baca ulang to remind myself bahwa hidup tuh emang gini lho, how many times you deny it, penderitaan tuh bakal ada. Jadi, instead of ngedumel dan playing victim, yuk mari kita usaha cari makna dari penderitaan ini. Gampang banget ya ngomongnya, tapi believe me, soalnya aku lagi berproses di sini juga, ini jauh lebih susah menjalaninya. 

Trus apakah buku ini ada kekurangan? Sejauh ini sih aku belum menemukannya ya, terutama kekurangan yang menganggu banget. Ukuran font aman, terjemahan enak dibaca, hmm. Mungkin kalo ada buku yang bisa mensejajari buku ini dari segi science bakal membantu banget sih. Mungkin aku belum tau adakah buku lain “pendamping” buku ini, soalnya aku pikir ga semua orang bisa “segampang” dan semudah itu menemukan makna dari setiap penderitaan. Karena lebih nyaman buat kita untuk ngasih makan ego dan emosi kita, itu jelas. Nah, orang-orang jenis apa yang lebih mampu menderita? Kenapa bisa begitu dan gimana kita bisa melatih diri kita agar lebih kuat mental? Soalnya aku percaya ujian hidup kita tuh bakal selalu naik tingkat.

Resensator: Aulia A

Cracking Creativity: The Secrets of Creative Genius - Michael Michalko


 

Judul Buku:

Cracking Creativity - The Secrets of Creative Genius

Pengarang:

Michael Michalko

Jumlah Halaman: 311

Tahun Terbit: 2001

Penerbit: Ten Speed Press

Tiba-tiba menemukan buku ini saat lagi browsing buku apaa gitu.

Menurutku buku ini practical banget untuk diterapkan, dan ada banyak ilustrasi juga.

Singkatnya, buku ini membedah bagaimana orang-orang kayak Einstein, Leonardo Da Vinci, Mozart, Thomas Alfa Edison dan tokoh2 lain di dunia bisa jadi hebat / outstanding di bidangnya.

Di prolognya, si penulis menceritakan bahwa IQ itu tidak selalu berbanding lurus dengan kreativitas, makanya dia membedakan ada yang namanya “pintar” dan ada yang namanya “kreatif”. Dia mengilustrasikan orang yang IQ-nya tinggi kayak Marylint Vos Savant (IQ 228) itu nggak punya kontribusi apa-apa di bidang sains / seni. Sementara peraih nobel kayak Richard Feymann malah IQ nya cuma 128.

Nah trus, si penulis ini bilang bahwa bedanya orang yang “pintar” dan “kreatif” ini terletak pada kemampuan berpikir.

Orang pintar biasanya dia akan berpikir dengan cara “reproductive thinking”, yaitu dia bisa menerapkan cara2 yang udah diajarin. Misal, kita selalu diajarin bahwa 13:2 = 6,5.

Nah kalo orang kreatif biasanya dia akan berfikir dari sudut pandang yang lebih luas, ibaratnya kayak drone. Ibaratnya ada taman yang ada air mancurnya, orang pintar cuma terkotak di air mancur aja, sementara orang kreatif akan menganalisa dari keseluruhan taman.

Misal kayak tadi, orang pintar bilang bahwa 13:2 pasti jawabannya 6,5.

Kalau orang kreatif, belum tentu.

Bisa aja 13:2 = 

(1) thir dan teen

(2) enam dan setengah

(3) XIII : 2 = XI dan II

(4) 1 dan 3

Ketika kita biasa berpikir produktif, maka kita akan terbiasa memperkaya sudut pandang dan akan lebih memungkinkan menghasilkan banyak karya.

“If you always think the way you’ve always thought, you will always get what you’ve always got - the same old, same old ideas”.

Nah gimana caranya biar bisa jadi kreatif jenius kayak tokoh2 besar di atas? Michalko membedah beberapa strategi, diantaranya:

1. Seeing what no one else is seeing. Ada dua cara: 

a. Knowing how to see. Contohnya kayak yang menyelesaikan problem 13:2 di atas dengan berbagai perspektif penyelesaian.

b. Making your thought visible. Jadi misal kita pengen memahami suatu konsep atau mencapai suatu target, nah sebisa mungkin kita bikin konsep / target itu dalam suatu gambar / diagram / mindmap / infografis / permainan warna / karya 3D / flash card / lukisan. Apapun itu.

2. Thinking what no one else is thinking. Ini ada beberapa cara:

a. Thinking fluently / kelancaran berpikir. Ciri2 orang yang kreatif jenius adalah dia yang ekstra / super produktif dan punya “deadline” untuk produktivitasnya dalam menghasilkan suatu karya. Contoh: Thomas Edison menghasilkan 1093 paten selama hidupnya. Dia punya aturan utk diri sendiri bahwa dia harus punya 1 penemuan kecil setiap 10 hari dan 1 penemuan besar setiap 6 bulan.

Mozart memproduksi 600an keping musik.

Einstein memproduksi 248 paper.

“Out of their massive quantity of work came quality. Geniuses produce. Period.”

b. Making novel combinations / selalu membuat kombinasi ide. Gambarannya kayak main lego, bongkar - susun - bongkar - susun dengan bentuk yang beda2.

c. Connecting the unconnected

Gampangnya: hanya beberapa orang yang bisa melihat rasi bintang, orang biasa cuma bisa melihat bintang dalam titik titik putih saja.

d. Look at the other side

Kadang kita terpaksa mempelajari atau mengerjakan sesuatu yang nggak kita suka

Misal: orang ekonomi malah kecemplung di kerjaan yang berbau hukum, malah bidang hukum itu bisa memperkaya keilmuan ekonominya.

e. Looking in other worlds.

Misal: alexander graham bell terinspirasi bentuk telepon setelah mengeksplorasi bentuk telinga.

Atau misalnya kita disodori gambar ekosistem pegunungan deh. Kira2, apa yang akan terpikirkan pertama kali oleh pebisnis / investor? Pemerintah? Masyarakat di sekitarnya? NGO? Mahasiswa? Pasti di dunia yang berbeda, hal2 yang bisa dieksplorasi itu beda2.

f. Creative Accident

Contoh: mirip2 kayak yang tadi,

Jadi misal kadung keterima di bidang yang kita nggak suka tapi malah jadinya menekuni bidang itu.

g. Kolaborasi. Kalau ini udah jelas, karena banyak kepala, banyak ide, banyak pengayaan.

Michalko juga ngasih tau cara merestruktur ulang permasalahan kita / cara menjadi kreatif. Ada beberapa cara:

1. Buatlah lebih global atau lebih spesifik. 
Lebih spesifik: lebih cepet ketemu solusinya. Lebih global: menemukan gap / missing links, kayak nyari judul skripsi.
2. Pisahkan bagian-bagian di masalah itu. 
Tekniknya bisa 5W1H atau Fishbone / Ishikawa Diagram (susah dijelasin, temen2 bisa googling, hehe).
3. Permainan kata2. 
Kalau ada ide, ditulis biar ga ilang. Kalau pengen memahami suatu konsep, buatlah analogi biar lebih gampang. Atau, ubah objek jadi subjek. Misal: “gimana ya cara menjual kaos ini?” menjadi “gimana ya cara menggunakan kaos ini untuk jualan?”
4. Mengira2 respon. 
Pikirkan suatu benda, nah kira2 di benak anda, reaksi orang ketika mendengar hal itu gimana? Nah itu bisa dieksplor lebih lanjut.
5. Beralih perspektif. 
Tesla membayangkan dirinya di masa depan ketika menciptakan sesuatu.
6. Membuat masalah anda menjadi benda hidup / Anda sebagai bagian dari masalah. 
Misal: kalau anda membayangkan punya sahabat dalam imajinasi, apa yang bakal dikatakan sahabat anda kepada Anda tentang masalah / ide Anda?
7. Rotasi peran jika memungkinkan
8. Da Vinci Multiple perspektive. 
Ketika mendesain sepeda, Da Vinci memikirkan sudut pandang: 1) dirinya sebagai penemu, 2) Investor, 3) Pengguna, 4) Lingkungan dimana penemuannya akan digunakan
9. Gunakan pertanyaan. 
Misal: “kenapa mau jualan cimol?” diganti dengan pertanyaan “bagaimana cara jualan cimol?”

Overall: rate dari aku 9/10. Bukunya practical, gampang dipahami dan ada ilustrasi juga. Tapi personally dari aku kalo baca ini harus dijeda dengan aktivitas lain, karena bikin “mikir” terus. Wkwk
Bagus buat bahan brainstorming kelas2 bisnis. 

Yah, gitu aja. Semoga bermanfaat. ☺️

Resensator: Fikriyatul Falashifah

Tuesday, June 28, 2022

Menembus Batas - Budi Setiyadi dan Tim Ziyad Visi Media



  • Judul Buku: Menembus Batas
  • Disusun oleh: Budi Setiadi dan Tim Ziyad Visi Media
  • Penyunting:Budiman Mustofa, Lc., Erlina Z. Zachi, S.S.
  • 180 halaman
  • Cetakan pertama Januari 2010

Buku ini berisi tentang pengalaman hidup seorang Ayah yang sukses mengantarkan ke-6 anaknya mengenyam pendidikan formal. Beliau, bapak Budi Setiadi, bekerja sebagai Penarik Iuran HPPK (Himpunan Pedagang Pasar Klewer) Surakarta, dengan penghasilan Rp. 450.000,-/bulan. Bersama dengan istri beliau, Ibu Suwarsi (Nurina Mar'atush Sholihah), dengan keterbatasan ekonomi dan lingkungan yang kurang mendukung pendidikan anak, beliau mampu mengubah tantangan tersebut menjadi sebuah motivasi.

Pada awal bab, buku ini menceritakan kehidupan beliau sebelum menjadi seorang muslim, menghadapi lingkungan yang dianggap kurang sehat untuk perkembangan anak, kemudian disusul dengan kisah perjalanan menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi, dan cara mendidik anak.

Putra dan Putri beliau:

1. Sholihah (Sarjana Teknik UGM, dan calon Mahasiswa S2 Jerman)

2. Walidah (Fakultas Teknik ITB)

3. Hafidzur Rohman al-Makhi (Pembaca cepat dan Mahasiswa Teknik Geodesi UGM)

4. Marlina Mar'atush Sholihah (Siswa MA Al Islam Surakarta)

5. Abdullah Yahya (Siswa Smart Ekselensia Indonesia, Bogor)

6. Aulia Khoirun Nisa' (Siswa SD Al-Islam 2 Surakarta)

Dari beberapa buku motivasi yang pernah saya baca, buku ini masih menjadi salah satu buku favorit saya. Pertama kali saya membaca buku ini yaitu saat masih duduk si bangku sekolah, dan sampai saat ini saya masih suka untuk membacanya, terutama ketika memang saya butuh motivasi hehe..

Kelebihan dari buku ini, diantaranya:

1. Menyajikan kisah secara runtut sehingga pembaca akan mudah memahami alur cerita.  

2. Selain membahas kisah nyata dari Pak Budi Setiadi, setiap pembahasan disertai dengan teori dan data empirik. Misalnya tentang optimalisasi kecerdasan anak secara teoritis dan yang dipraktikkan oleh Pak Budi Setiadi.

3. Format tulisan yang dipilih dan ukuran font tidak terlalu kecil, selain itu diselingi dengan gambar, sehingga nyaman ketika dibaca.

4. Tidak banyak menggunakan hiperbola, dan itu salah satu yang membuat saya suka, hehe..

Beliau sering menyebutkan "karena saya bodoh, makanya saya harus banyak belajar" 

Menurut saya, ketika beliau berbicara demikian itu menggambarkan kerendahan hari beliau. Melalui sikapnya tersebut, kemudian ditularkan kepada anak-anak beliau, tentunya dengan cara mendidikan anak yang benar. Dari ke-6 anaknya, beliau selalu belajar mensiasati cara belajar anaknya, sehingga ketika ditemukan masalah dalam belajar anak, beliau selalu menyelesaikan saat itu juga.

"Bibit yang istimewa bila tidak diberi pupuk dan dirawat dengan baik, maka akan menghasilkan buah yang biasa-biasa saja atau bahkan bisa lebih buruk. Sedangkan bibit biasa bila diperlakukan dengan baik maka akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa", begitu kata Pak Budi Setiadi.

Beberapa cara mendidik anak yang diajarkan pak Budi, diantaranya:

1. Memahami bahwa bekal kecerdasan setiap anak berbeda.

2. Mendidik anak sejak dalam kandungan (disini beliau menjelaskan bahwa ketika istri beliau hamil, beliau selalu mengajak janin di kandungan istri untuk ikut bangun dan shalat malam)

3. Mengoptimalkan kecerdasan anak (disini beliau memulai dengan kecerdasan berbahasa, yakni mengajak anak untuk bercerita)

4. Temukan metode belajar yang tepat bagi anak

5. Memahami tingkat pemahaman dan konsentrasi anak

6. Jauhkan anak dari pengaruh buruk dengan cara yang baik

7. Cukupilah kebutuhan otak anak (salah satunya dengan asupan nutrisi, ditengah himpitan ekonimi, beliau memilih ikan asin karena dinilai ikan asin kaya akan kalsium)

8. Temani anak-anak untuk belajar

9. Berikan motivasi tiada henti

10. Bimbing anak dengan penuh kasih sayang

11. Jangan batasi cita-cita anak

12. Tingkatkan komunikasi dengan pihak sekolah (pernah beliau meminta kepada guru untuk sengaja memberikan nilai dibawah hasil yang sesungguhnya hanya untuk sang anak tidak cepat merasa puas dan bangga dengan capaiannya)

Kekurangan yang saya temukan saat membaca buku ini, yakni gambar yang hitam putih. Selain itu, saya belum menemukan kekurangan dari buku ini. Mungkin karena saya sudah terlanjur suka dengan isi dari buku ini.

Resensator: Ika Nur W

Buku Pintar Kesehatan Anak - Aulia Fadli

 


Terkait buku ini, ada poin-poin yang secara garis besar dapat kita ambil:

1. Kesehatan anak sangat dipengaruhi peran orang tua, bahkan jauh sebelum masa di mana anak dilahirkan.

2. Beberapa anak terlahir dengan kekurangan dan diperlukan beberapa usaha penyembuhan (down syndrome, autis, dan sebagainya)

3. Bermain merupakan dunia anak bukan hanya "sebatas kebutuhan", melalui bermain juga dapat dijadikan media terapi bagi anak atas permasalahan pada poin 2.

Resensator: Fatkhur Rozi

Range - David Epstein


Judul buku: Range
Penulis: David Epstein
Penerbit: GPU
Tahun terbit: 2020
Genre: Self-improvement 
Jumlah halaman: 390 halaman 


Pertama kali aku tau buku ini waktu lagi berburu buku di Periplus. Tapi, aku beli buku ini waktu lagi di Gramedia. Ini adalah review untuk buku Range terjemahan bahasa Indonesia. 

Aku tertarik dengan buku ini karena temanya: generalis vs. spesialis. Apalagi sekarang ini lagi rame dibahas mana sih yang bisa menjamin kesuksesan lebih cepat; menjadi generalis atau spesialis. Mungkin waktu masih kecil, kita termasuk generasi yang didoktrin jadi spesialis bakal bikin lebih mudah sukses. Aku pribadi sebelum baca buku ini udah berasumsi bahwa jelas dengan menjadi generalis, kita bakal lebih punya banyak keuntungan daripada menjadi spesialis karena jelas dunia ini udah berubah banyak, apalagi dengan adanya otomasi. Pekerjaan yang tadinya biasa dilakukan spesialis suatu saat nanti bisa digantikan oleh mesin. Eh, sekarang pun udah mulai ya era otomasi. 

Range dimulai dengan perbandingan antara kisah Tiger Woods vs. Roger Federer. Keduanya adalah atlet terkenal dan sukses, lalu apa yang membedakan keduanya? Woods tumbuh besar bersama golf dan dia menjadi pemain golf profesional di usia yang relatif muda. Sedangkan Federer mencoba berbagai macam olahraga dari sepak bola hingga tenis sebelum memutuskan untuk menjadi pemain tenis profesional. Bagiku, sebelum membaca kelanjutan buku ini, kisah motivasi ini cukup memberikan gambaran isi buku ini. 

Selain generalis vs. spesialis, Epstein cukup menjelaskan tentang polymath, yang menurutku bisa menjadi “solusi” antara dikotomi tadi. Polymath adalah menjadi generalis dengan paling ga satu bidang spesialis. Menarik. Dalam bayanganku, anak-anak diajarkan segala macam ilmu lalu ketika sudah sampai di usia tertentu, mereka diperkenankan mengambal satu spesialisasi agar menjadi spesialis tapi dengan rasa generalis. Hmm. 

Untuk kelebihan, buku ini sangat gamblang menjelaskan keuntungan-keuntungan menjadi generalis dibandingkan spesialis. Banyak sekali contoh-contoh yang dipaparkan oleh Epstein. Dia secara ga langsung mengajak pembaca untuk switch the mindset bahwa dunia ini lebih membutuhkan banyak generalis daripada spesialis. Hampir semua argumen yang disampaikan Epstein bisa aku terima dengan baik. Contohnya, menjadi generalis memudahkan kita untuk mampu melihat permasalahan dari berbagai perspektif sebelum memutuskan metode apa yang paling efektif untuk menyelesaikannya. Pemahaman kita akan masalah akan lebih deep and thorough jika kita menggunakan pendekatan generalis. 

Sayangnya, yang menjadi kelebihan malah menjadi kekurangan dari buku ini dan membuatku cukup terganggu. Dari berbagai banyak contoh, argumen, dan penjelasan Epstein, dia tidak memasukkan peran dari neuroplasticity seakan orang yang generalis akan selamanya generalis, dan sebaliknya. And to be honest, membaca buku ini membuatku bosan dengan gaya penulisan Epstein. Buku ini ditulis dengan gaya “did you know that …” “here the facts that …” “here’s how to succeed …” terlalu banyak bias generalis di sini meskipun secara garis besar aku sepakat bahwa menjadi generalis lebih menguntungkan di dunia yang disruptif ini. 

Kesimpulannya, apakah buku ini layak dibaca? Layak untuk kamu yang pengen tau apa sih keuntungan jadi generalis. Tapi, menurutku jawaban dari pertanyaan tersebut bisa kamu dapatkan ga cuma dari buku ini.


 Resensator: Aulia A.

You Can Wind Down from Time to Time - Dan Kim


Buku ini tebelnya kurang lebih 260 halaman. Keliatannya agak tebel, tapi banyak ilustrasinya. Tulisannya juga besar-besar. Setelah baca, saya menobatkan buku ini jadi comfort book saya. Secara garis besar bukunya dibagi jadi tiga bagian:

1. When I Want to Closer to Me

2. When I Miss Talking to Someone

3. When I Want to Start Over

Asalnya buku ini pake Bahasa Korea, tapi diterjemahkan ke Bahasa Inggris dengan baik, jadi mudah dimengerti pembaca. Nah, yang paling saya suka dari buku ini adalah gimana penulisnya, Kim Dan, bisa kasih comfort words buat pembaca dengan kisah-kisah dari masa kecil, seperti kisah The Little Prince, The Ugly Duckling, The Wonderful Wizard of Oz, Pippi Longstocking, dan sebagainya. 

Yang jadi favorit saya adalah tulisan yang judulnya Unusually Special. Di situ penulis mengingatkan pembaca buat mencintai diri sendiri apa adanya dengan kisah Pippi Longstocking. Penulis ngingetin pembaca bahwa jadi orang "nyeleneh" kayak Pippi itu nggak apa apa. 

Oh iya, gaya Kim Dan nulis itu kayak temen pas nyeritain pengalamannya, atau kayak temen yg cerita tentang dongeng yang baru dia baca, jd ngga berasa digurui. Seneng banget dapet buku ringan tp meaningful kayak gini 😊 Apalagi buat saya yang masih ngerasa gini-gini aja dan masih ngerasa ketinggalan dari temen-temen yang lain, baca buku ini kayak dapet pesen dr temen "Nggak apa-apa, kamu jalan pelan-pelan. Yang penting nanti nyampe. Semua itu ada masanya." 🤗

Ini tulisannya ga sebesar dan seimut buku-buku journaling, cuma agak besar aja jd ngga pegel pas baca. Penulisnya juga nulis kayak gini di sampul dan halaman depan buku: A book for everyone who's lost in the complicated path of adulting; A comforting message from your childhood.

Resensator: Annisa Nahla A.

A Gentle Reminder - Bianca Sparacino

Source: Pinterest

 Judul: A Gentle Reminder

Penulis: Bianca Sparacino

Penerbit: ThoughtCatalog

Tahun Terbit: 2021

Jumlah Halaman: 152 halaman

Genre: Self Help

Review:
Dari segi bahasa, buku ini disajikan dengan muatan Bahasa Inggris sederhana dan mudah dicerna. Bacaan ini cocok untuk pembaca yang ingin belajar reading Bahasa Inggris untuk pemula. Beberapa diksi dalam buku ini cocok bagi pembaca yang sedang mencari inspirasi untuk wedding wishes. Banyak kata-kata yang indah dan kreatif.

Dari segi isi buku, buku ini cocok untuk jadi “teman” saat sedang down atau mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan dalam hidup, seperti patah hati, momen sedih menangis sendiri di kamar, diam suka sama seseorang, kehilangan seseorang, bingung tentang karir dan masa depan, mengalami kegagalan, ada harapan yang belum tercapai, dan sejenisnya. Membaca buku ini seperti ada teman di samping kita dan bilang “it’s okey” dan dia menepuk-nepuk pundak kita. 

Bacaan ini tergolong ringan, tapi bagi yang nggak suka genre ini mungkin cenderung terasa sedikit membosankan karena tidak ada alur cerita, basically buku ini hanya berisi kata-kata penyemangat saja. Buku ini kurang cocok bagi penyuka bacaan berat karena sesuai judulnya: A Gentle Reminder, yang nuansanya ringan, seperti dipeluk Ibu atau seakan-akan seperti kontemplasi, yoga for healing, atau seakan-akan sedang mendengarkan podcast / youtube tentang kontemplasi.

Buku ini mengajarkan kita untuk:

1. Moving forward peacefully alias move on dengan damai, tidak perlu dendam pada mantan atau mengutuk keadaan.

2. Percaya diri bahwa kita ini berharga, sekecil apapun peran yang kita lakukan. Buku ini juga mengajarkan kita untuk mencintai diri sendiri dan terus memperbaiki diri, tapi tidak ngoyo.

3. Masing-masing dari kita memiliki kesuksesan sesuai versi masing-masing, tidak harus sama dengan kriteria sukses yang digembar-gemborkan society.

Salah satu kekurangan buku ini adalah di dalam buku ini dikatakan jika ingin belajar mengasah sensitivitas dan kepekaan, dianjurkan untuk ngobrol dengan seseorang tentang masa-masa yang paling pahit baginya dan cara untuk bangkit dari situasi itu. Bagian ini seharusnya kontekstual, apalagi kalo di Indonesia, menanyakan hal tersebut dalam situasi yang salah akan menimbulkan kesan kepo / malah tidak nyaman. Bacaan ini juga terlalu loncat-loncat, tidak dibuat tematik, sehingga agak bingung memilah jika sedang mencari gentle reminder untuk situasi tertentu. Di dalam bacaan ini juga terkandung banyak pengulangan nuansa / suasana.

Peluang dari dari buku ini: kata-kata dalam buku ini bisa menjadi inspirasi bagi konten kreator yang ingin memproduksi jenis video untuk healing, misalnya “1 hour healing contemplation”, atau “music for healing”, digabungkan dengan musik piano, musik klasik atau musik sejenis zen jepang dengan suara aliran air dan dipadukan dengan latar belakang video air mengalir di kolam-kolam bambu dan dedaunan hijau.

Kata-kata favorit di buku ini: (1) This is your reminder — sometimes your biggest losses end up introducing you to your biggest gains. (2) At the end of the day, you must remember this — energy cannot be created or destroyed, it can only be transformed. The universe does not take without giving, and it is within the messiness, and the aches of life, where you will finally be introduced to the beauty, where you will finally be introduced to the light.

Resensator: Fikriyatul F.